Global-News.co.id
Kesehatan Utama

Pandemi Covid-19, Penderita Parkinson Makin Tertekan

dr Achmad Fahmi SpBS

SURABAYA (global-news.co.id) – Kondisi pandemi Covid-19 membuat penderita penyakit Parkinson berpotensi makin tertekan. Peran keluarga penting untuk memberikan support agar kualitas hidup penderita Parkinson terjaga.

Demikian dikatakan Dr dr Achmad Fahmi SpBS  (K) FINPS dalam bincang menyambut Hari Parkinson Sedunia yang diperingati setiap 11 April.

Dijelaskan, dalam situasi normal penderita parkinson bisa beraktivitas seperti  berjalan kaki di sekitar rumahnya, bersosialisasi dengan orang. Namun, saat pandemi di mana semua orang tidak boleh berkumpul dan melakukan aktivitas di rumah saja.

Beraktivitas seperti jalan, menggerak-gerakkan tubuh ini penting untuk menghindari kekakuan. Tapi diingatkan, aktivitasnya bukan yang membuatnya capek melainkan aktivitas yang disenangi, di samping yang tidak menguras pikiran.

“Karena itu peran keluarga di sini penting, yaitu memberi semangat, dan jangan menakut-nakuti. Kalau mereka cemas, malah akan memperburuk penyakitnya,” terang spesialis  bedah saraf dari National Hospital tersebut.

Seiring bertambahnya usia, organ-organ tubuh juga ikut menua. Termasuk otak yang mengalami penurunan fungsi. Penyakit parkinson terjadi karena adanya ketidakseimbangan zat kimia pada otak, yaitu jumlah dopamin yang lebih rendah dibandingkan asetilkolin. Normalnya, jumlah dopamin dan asetilkolin di dalam otak adalah sama atau seimbang. Menurunnya jumlah atau kadar dopamin pada otak ini membuat gerakan motoris jadi melemah.

Rendahnya kadar dopamin ini salah satunya disebabkan karena kondisi subtantia nigra, otak bagian tengah tempat dopamine diproduksi. Kalau substantia nigra ini mengalami degenerasi atau rusak, maka produksi dopamin jadi terganggu.

Selain karena faktor usia, rusaknya substantia nigra ini bisa juga dipicu oleh adanya trauma (berupa benturan), terkontaminasi zat kimia misalnya menghirup zat kimia seperti pestisida, serta adanya mutasi genetik. Semakin sering seseorang terpapar zat kimia, risiko terkena Parkinson akan semakin tinggi. Ini yang menyebabkan terjadinya Parkinson secara dini atau di usia yang lebih muda.

“Meningkatnya usia harapan hidup, membuat semakin banyak kaum sepuh. Ini pula yang membuat jumlah penderita parkinson juga meningkat,” ujar Fahmi.

Saat penderita parkinson bertambah usia, biasanya bertambah pula tingkat perburukan dari penyakit yang dideritanya.

Di masa pandemi, penderita parkinson harus lebih hati-hati mengingat kondisinya yang tidak fit betul. Karena itu dia harus disiplin menjalankan protokol kesehatan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas). “Bagaimana dengan vaksinasinya, menurut movement disorder society  mereka ini boleh mengikuti vaksinasi. Bahkan malah disarankan,” terangnya.

Gejala Parkinson

Gejala parkinson diawali dengan penurunan fungsi motorik.  Sekumpulan gejala mayor yang menandai parkinson biasanya disebut TRAP. TRAP adalah singkatan dari tremor atau tangan gemetar, rigiditas (kekakuan), akinesia (gerakan melambat), dan postural imbalance atau kehilangan keseimbangan.

Namun bukan berarti jika seseorang mengalami salah satu dari gejala tersebut, sudah pasti mengalami parkinson. Jika gejala-gejala tersebut muncul bukan karena adanya ketidakseimbangan, maka tidak bisa disebut sebagai penyakit parkinson.

Sedang gejala minornya berupa gangguan tidur, gangguan fungsi pembauan, gangguan menelan,  suara mengecil. Ada yang mengalami gangguan nyeri pada kaki seperti kesemutan, kebas, buang air besar hingga 5 kali sehari, serta gampang cemas.

Penyakit parkinson memang tidak mematikan, tapi pernyakit ini terbilang berbahaya karena bisa menurunkan kualitas hidup penderitanya. Dia tak bisa bergerak secara normal karena gerakannya lambat atau mengalami kekakuan.

“Karena itu memberikan support psikis merupakan yang terpenting karena penderita parkinson cenderung cemas, mudah tersinggung,”  kata Fahmi.
Dalam beberapa kasus, lanjutnya, adanya support keluarga membuat penderita jadi tidak perlu banyak obat. “Sebaliknya kalau kurang mendapat dukungan dari keluarga, akan  semakin sulit pengobatannya. Memang parkinson-nya tidak bisa sembuh, tapi setidaknya penderita tidak perlu banyak obat,” katanya.

Parkinson memang tak bisa disembuhkan dan penderitanya akan seumur hidup tergantung pada obat. Penderita akan bisa menggerak-gerakkan anggota tubuhnya setelah minum obat, obat ini akan bertahan atau bekerja 5-6 jam. Setelah itu penderita harus meminum obatnya lagi agar gerakan motoriknya lancar.

Pada penderita kelas berat, on/off nya pendek di mana obat hanya bertahan 1 jam, akan disarankan melakukan operasi. Operasi yang biasa dilakukan adalah stereotactic brain lesion dan deep brain stimulation (DBS).

Selain pada pasien yang on/off-nya pendek, operasi juga disarankan pada mereka yang sudah menderita lama sekitar 5 tahunan. Namun demikian, ada pula penderita Parkinson yang tidak boleh dioperasi, yaitu penderita parkinson sekunder. Parkinson sekunder terjadi karena adanya perkerutan otak, infeksi atau gangguan pembuluh darah ke otak.

Fahmi menyebut, sejak melayani penanganan Parkinson pada 2013, National Hospital sudah menangani sedikitnya 300-an pasien. Mereka umumnya melakukan operasi yang tanpa memasang alat, stereotactic brain lesion, yaitu sebuah operasi yang dilakukan dengan pasien dalam keadaan sadar. Dokter melakukan tindakan pada bagian otak yang mengalami hiperaktivitas lewat sebuah jarum elektroda berukuran 1 milimeter.

“Kalau yang menggunakan alat (DBS) biayanya mahal, bisa mencapai ratusan juga karena alatnya harus memesan dulu,” ujar Fahmi, dokter Indonesia pertama yang  melaksanakan operasi lesi.

Menurut Fahmi, yang terpenting dalam menangani penderita Parkinson adalah adanya secara psikis dari keluarga. “Jadi bukan obat, bukan pula operasi. Buat dia happy,” tandasnya.ret

baca juga :

Soal PPDB, Walikota Eri Sepakat Sistem Zonasi Dievaluasi

The Indonesia Summit 2023: Danamon bersama MUFG Bank dan Adira Finance Gelar Diskusi Thought Leadership

Redaksi Global News

Pertamina PHE Dimungkinkan Kelola Migas Blok Tuban

Redaksi Global News