Global-News.co.id
Gaya Hidup Kesehatan Utama

Membentengi Perempuan dengan RUU PKS

Tak hanya anak-anak, kekerasan seksual pada perempuan di masa pandemi Covid-19 juga mengalami peningkatan. 

Psikolog Ika Putri Dewi menyebut, konteks kekerasan itu bisa terjadi  dalam relasi intim berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan dalam pacaran, dalam ruang publik berupa pelecehan/kekerasan seksual dan trafficking, serta dalam ruang peran sosial yang mencakup relasi di lingkup kerja, lingkup pendidikan, lingkup komunitas, dan relasi dengan profesional.

Kekerasan itu mudah terjadi karena semua aktivitas di masa pandemi berlangsung di rumah. Seorang perempuan harus mengerjakan tugas rumah, meladeni suami, membantu anaknya yang  belajar secara online, dia juga harus mengerjakan tugas kantornya, sehingga gesekan begitu gampang terjadi.  Diungkapkan, dalam satu jenis kekerasan sepert KDRT bisa terdapat berbagai bentuk kekerasan. “Kekerasan bisa terjadi secara berlapis, sehingga tidak hanya ada 1 bentuk yang dialami penyintas,” ujar psikolog dari Yayasan Pulih tersebut dalam workshop ‘Semua Peduli, Semua Terlindungi Sahkan RUU PKS’  yang digagas Forum Jurnalis Perempuan Indonesia baru-baru ini.

Ada 9 bentuk kekerasan seksual  yang tercantum dalam Rencana Undang-undang  Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS). Masing-masing  perkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaaan kontrasepsi, pernikahan paksa, pemaksaan pelacuran, perbudaan seksual, dan  pemaksaan aborsi.

Ika menegaskan kekerasan seksual merenggut rasa aman korban. “ Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang menyebabkan pelanggaran-pelanggaran HAM lain yang membuat korban banyak yang trauma bahkan bunuh diri karena merasa masa depannya telah hancur,”  tandasnya dalam workshop yang didukung The Body Shop dan IDN Times tersebut.

Dia menyebut  kekerasan berbasis gender terjadi karena beberapa hal, yakni penyalahgunaan relasi kuasa, perspektif HAM dan gender yang minim di masyarakat. Selain itu, budaya patriarki dan ketidakadilan gender. “Ini yang harus dikikis sehingga kekerasan seksual tidak terjadi, atau setidaknya diminimalisir oleh semua orang,” lanjutnya,

Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, pada 2018 terjadi 5.280 kasus kekerasan seksual, pada 2019 (4.898), 659 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online/KBGO (Jan-Okt 2020). Sementara data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian PPPA menyebut pada 2020 terjadi  6.177 kasus kekerasan seksual.

Meningkatnya kekerasan berbasis gender di masa pandemi Covid 19 ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ketua Umum FJPI Uni Lubis menyebut, dari sidang tahunan UN Women baru-baru ini tercatat data yang sangat mencengangkan. “Krisis diskriminatif pada perempuan terbesar di dunia terjadi pada masa pandemi, yakni 1 di antara 3 perempuan. Bentuk-bentuknya terjadi pada kehamilan yang tidak diinginkan, pernikahan anak, kekerasan oleh intimate partner pada perempuan,” ujarnya.

Sidang UN Women yang membahas tentang status perempuan itu  menyebutkan, pandemi Covid-19 membuat anak perempuan dan perempuan mengalami krisis diskriminatif terbesar, karena meningkatnya kasus kekerasan fisik dan seksual. Situasi ini bisa dicegah jika ada aturan hukum yang menjamin keselamatan fisik dan mental mereka.

Mengapa kekerasan seksual itu terjadi?  Menurut Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah lantaran masih ada yang menganggap perempuan sebagai objek seks, sumber kesenangan laki-laki, dianggap lemah, dianggap cantik, dianggap penyebab dosa.  Selain itu perempuan dianggap “senang” bila dilecehkan, disuit-suit atau dianggap menyetujui kalau digoda. “Yang memprihatinkan tidak ada hukuman sosial bagi pelaku sebaliknya korban justru disalahkan, ‘Salahnya pakai baju pendek’ atau ‘Salahnya jalan sendirian’. Pelaku tidak pernah mendapatkan hukuman sosial  dari masyarakat dan cenderung dilindungi. Berbeda dengan nama pelaku terorisme atau koruptor  yang bisa diumbar ke publik, meski belum ada pengesahan hukum. Kenapa pelaku kekerasan seksual yang sudah nyata tak pernah diungkapkan.  Selain itu, hukum positif tidak mengakomodir korban. Hukuman pidana masih sumir, bias dalam memposisikan korban, pelaku hanya mendapatkan hukuman yang ringan,” katanya.

Padahal kekerasan seksual itu berdampak pada fisik dan psikologis.  Selain kesakitan fisik, korban juga  mengalami trauma, dikuasai perasaan negatif seperti malu, bingung, was-was, sedih, motivasi jadi kurang, putus asa, tidak mau makan, menyalahkan diri sendiri, menutup diri, merasa tidak berharga, tak mau merawat diri dan kesehatannya, bahkan bunuh diri.

Yulianti  menegaskan, masyarakat harus disadarkan jangan ada impunitas pada pelaku kekerasan seksual.

Ika menyebut, RUU PKS merupakan perangkat yang diharapkan bisa membantu proses pemulihan korban. “Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang keji. Harus ada perangkat yang tegas yang bisa melindungi korban,” katanya.

RUU PKS sendiri sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, setelah sempat gagal dibahas pada Prolegnas 2014-2019 lalu. Sejak diusulkan pada 2012, para pendukung tetap berusaha mengawal RUU ini bisa segera disahkan DPR RI. Kampanye meluas dengan edukasi dan petisi masih berlangsung hingga kini.

RUU PKS ini merupakan undang-undang yang disusun berbasis pengalaman korban, pendamping korban, dan pihak pemerintah yang berkepentingan. Di dalam RUU ini selain ada penegakan hukum pada pelaku, ada juga jaminan yang dimonitoring oleh pemerintah terhadap pemulihan korban yang tidak diakomodir oleh undang-undang yang sudah ada.

Dari hasil studi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), tercatat ada sekira 70,5% masyarakat setuju RUU PKS segera disahkan, 20,1% yang tidak setuju. Sementara ada 17,1% yang menganggap RUU PKS ini kontroversi dan bertentangan dengan nilai agama. Menurut Yulianti, pertarungan agama dan budaya terkait RUU PKS ini karena kurangnya pemahaman terhadap konsep RUU PKS dan agama itu sendiri.

“Minimnya keberpihakan kepada perempuan dan korban kekerasan seksual menyebabkan kontroversi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab, dalam agama apapun kejahatan seksual adalah dosa,” ujarnya.

Ditambahkan, semua orang harus mengajak seluruh anggota keluarga mereka agar tidak menjadi pelaku kekerasan seksual supaya tidak masuk neraka, bukan malah membela dan menutup-nutupi.

CEO The Body Shop Indonesia, Aryo Widiwardhono, mengatakan, pihaknya percaya kalau sebuah bisnis bisa memiliki peran lebih dari sekadar transaksi jualbeli, tetapi memiliki kapasitas untuk mengedukasi dan mendorong perubahan baik. “Bagi kami, isu kekerasan seksual itu penting untuk didorong dan kami melakukan kampanye Stop Sexual Violence karena Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Kami akan mengawal terus dengan semangat dan tekad perjuangan hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan,” ujarnya. ret

baca juga :

BI Jatim dan PWNU Jajaki Kerjasama Pemberdayaan UMKM dan Pengembangan Ekonomi Syariah

Redaksi Global News

Maung Bandung Manfaatkan Jeda Panjang Pertandingan

Redaksi Global News

Peduli Pajak, Bank Jatim Terima Penghargaan dari Bapenda Jawa Timur

Redaksi Global News