Global-News.co.id
Kesehatan Utama

Cegah Eksploitasi Seksual di Balik Internet

Belum lama ini, ramai diberitakan kasus eksploitasi seksual yang melibatkan 15 anak sebagai korban. Sebelumnya, akun Twitter @taupikarisandy melakukan pelecehan terhadap anak perempuan dengan mengunggah foto bermuatan sensual. Ya, pandemi Covid-19 telah membuat semakin banyak anak menjadi korban eksploitasi seksual melalui online. Bagaimana anak-anak dan orangtua harus menyikapinya?

Efek pandemi Covid 19 tidak hanya melumpuhkan sektor ekonomi, indutri, kesehatan fisik dan mental, serta pendidikan. Sektor lain terjadi pada gangguan ketahanan keluarga, menimbulkan konflik, dan juga pada perilaku agresi, pelecehan seksual, KDRT dan perceraian. Adanya peralihan dari metode luring menjadi daring (karena kebijakan PSBB, WFH dan juga PPKM) membawa efek tersendiri.  Meningkatnya penggunaan gadget yang selalu terkoneksi dengan internet, sangat memungkinkan digunakan untuk keperluan lain. Tujuan awal penggunaan gadget untuk pembelajaran daring, menjalankan bisnis, atau menyelesaikan tugas dan mengirim tugas atau pekerjaan.

“Nah di sela-sela menyelesaikan semua tugas, terdapat saat-saat jenuh, lelah dan menuntut pelakunya untuk refreshing. Cara refresing yang dapat digunakan oleh pengguna gadget adalah dengan main game, mendengarkan lagu, menonton film. mendownload situs-situs tertentu yang dianggap sebagai hiburan,” ujar psikolog Hamidah, Rabu (24/3/2021).

Disebutkan, situs yang mungkin menyenangkan banyak orang adalah situs dengan conten pornografi. Terutama bagi usia anak-anak akhir, remaja awal hingga dewasa. Konten ini kadang sengaja dicari, kadang juga muncul secara tidak di sengaja dan juga beberapa kasus sengaja dikirim orang lain.

Adanya dorongan dalam diri anak-anak akhir dan remaja yang sedang ingin banyak mengeksplorasi konten-konten menggiurkan, membuat mereka ingin memenuhi rasa ingin tahunya tentang konten tersebut.  Sangat memungkinkan mereka kemudian senang mencari, atau dikirm orang dan ditanggapi dengan terbuka dan merespos secara terus menerus. Sehingga si pengirim semakin senang mengirim konten pornografi ke subjek tujuan. Tindakan seperti ini sudah tergolong pelecehan seksual kepada objek sasaran.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( PPPA) yang melakukan pendampingan dan assesmen bagi korban kasus eksploitasi 15 anak di sebuah hotel di Tangerang tersebut sejak awal pemeriksaan mendapati motif korban yang berbeda. Salah satunya karena kebutuhan hidup.

“Mayoritas terdorong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian orangtuanya ada yang tahu. Sebagian lagi tidak, karena dianggapnya itu pergaulan biasa,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, pada sebuah kesempatan.

Sementara Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Rainy Hutabarat menyebut, lembaganya termasuk dalam daftar lembaga yang di-mention oleh warganet menyangkut pelecehan seksual terhadap anak di akun Twitter tersebut.

Menanggapi kasus pelecehan seksual yang terjadi, Rainy mengatakan, anak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual memiliki kerentanan berlapis. “Pelecehan seksual terhadap anak menunjukkan kerentanan berlapis anak dalam masyarakat patriarkis dengan rape culture,” ujarnya.

Kerentanan berlapis tersebut berupa relasi kuasa antara pelaku sebagai lelaki dengan anak perempuan dan relasi kuasa pelaku sebagai orang dewasa dengan anak. Bila pelaku adalah orang terdekat, maka akan menambah lapisan relasi kekuasaan antara pelaku sebagai misal ayah, ayah tiri, paman atau tetangga.

Pelaku yang dikatakan memiliki kekuasaan berlapis ini juga dapat mengakses media sosial, sehingga menambah risiko pelecehan seksual berbasis online (KGBO). “Kekuasaan berlapis inilah yang membuat anak, dalam hal ini anak perempuan, rentan terhadap pelecehan atau kekerasan seksual,” tutur Rainy.

Sementara End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Child for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, dalam temuan awalnya terkait kerentanan anak dari eksploitasi seksual online di masa pandemi, mendapati masih adanya pengalaman buruk yang dialami responden saat berinternet di masa pandemi. Dari 1.203 responden, terdapat 287 pengalaman buruk yang mereka alami saat berinteraksi di masa pandemi.

Pengalaman buruk tersebut di antaranya dikirimi pesan teks yang tidak senonoh, gambar atau video yang membuat tidak nyaman, gambar atau video yang menampilkan pornografi, ajakan untuk livestreaming atau membicarakan hal tidak senonoh, diunggahnya hal-hal buruk tentang responden tanpa sepengetahuannya, dan dikirimi tautan berisi konten pornografi.

“Banyak kejahatan seksual yang awalnya dilakukan pada situasi offline, saat ini mengarah pada situasi online. Ranah online membuka peluang bagi pelaku kejahatan seksual untuk melancarkan aksinya. Para pelaku kejahatan menjadi lebih leluasa melakukan eksplorasi terhadap korbannya, bahkan bisa berjejaring lintas negara,” ungkap Program Manager ECPAT Indonesia, Andy Ardian.

Psikolog Hamidah menambahkan, efek negatif terutama pada anak-anak itu dapat dicegah dengan berbagai strategi. Dasar strateginya adalah pengawasan atau kontrol dari lingkungan, dengan menggnakan metode yang beragam. “Namun perlu diusahakan agar tidak terkesan menginterogasi, mengawasi atau memata-matai. Karena metode yang demikian juga dapat merenggangkan hubungan dan kedekatan emosi antara anak dengan orang-orang di sekitarnya (orangtua, saudara, atau guru serta saudara yang lebih tua),” katanya.

Yang juga penting bagi anak dan remaja adalah menambah literasi tentang kesehatan seksual. “Remaja memang suka penasaran. Karena itu dengan edukasi seksual yang tepat oleh ahlinya mereka tahu risiko seksual tidak sehat dan risiko internet sex addiction,” ujarnya.

Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kemen PPPA, Ciput Eka Purwianti, juga mengakui proses belajar di rumah melalui akses internet di satu sisi memiliki dampak positif, yakni menstimulasi anak untuk belajar mandiri dan mendekatkan relasi antara orangtua dan anak. “Namun di saat yang bersamaan ada bahaya yang mengancam anak-anak kita. Berdasarkan kasus kejahatan seksual dan pornografi selama ini, tidak ada lagi daerah yang steril dari kejahatan seksual di ranah online,” ujarnya.

Karenanya menjadi tugas orangtua untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat pada anak-anaknya dalam mengakses internet.

Rainy juga menyebutkan, pelecehan atau eksploitasi seksual terhadap anak dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es. Yaitu kasus yang muncul di permukaan hanya sebagian kecil saja, sementara banyak kasus lain yang tidak dapat terdeteksi. Fenomena ini dapat terjadi akibat ancaman pelaku pada korban, yang dalam hal ini merupakan anak-anak.

“Korban tidak melapor pelecehan yang dialaminya, bisa saja karena tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya, enggan atau takut melapor karena diancam oleh pelaku,” jelas Rainy.

Pelaku memotret korban yang menggambarkan pelecehan yang dilakukannya lalu menyebarluaskannya, dapat dikategorikan sebagai pelaku kekerasan siber berbasis gender terhadap anak perempuan. Rainy mengingatkan, kasus semacam ini dapat dilakukan dan dialami oleh siapa saja. “Masyarakat perlu memahami bahwa pelecehan atau kekerasan seksual tidak mengenal usia, sebagaimana juga tidak mengenal kelas sosial ekonomi, tingkat pendidikan, profesi, lingkungan sosial,” katanya.

Tak kalah penting, bagaimana orangtua membangun komunikasi yang aktif anak. Jangan sampai anak menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya secara sendiri dan mencari jalan keluarnya sendiri. ret

baca juga :

Pensiunan dan ASN-TNI/Polri Eselon III ke Bawah Tetap Dapat THR Tahun ini

Redaksi Global News

Pemain Tak Maksimal di Denmark Open, PP PBSI Ungkapkan Alasannya

Redaksi Global News

Positif Covid-19, Keberangkatan Dua CJH Tulungagung Tertunda