JAKARTA (global-news.co.id) – Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah tahun depan seperti yang dilakukan saat ini. Suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate sebesar 3,75 persen merupakan yang paling rendah sepanjang sejarah.
Asisten Gubernur BI Aida S Budiman mengatakan pihaknya akan melihat kondisi yang ada sebelum mengambil kebijakan normalisasi. Salah satu pertimbangan untuk menentukan tingkat suku bunga acuan adalah tingkat inflasi.
“Tentunya kalau kita melihat inflasi, harus kami yakini apakah dia permanen atau temporer, karena komponen inflasi itu ada dua, inflasi inti dan volatile food,” kata dia dalam webinar Bank Indonesia Bersama Masyarakat (BIRAMA) di Jakarta, Senin (7/12/2020).
Jika terjadi kenaikan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan permintaan sehingga inflasi inti meningkat, barulah BI akan mempertimbangan kenaikan suku bunga. Itupun, lanjut Aida, kebijakannya akan dilakukan dengan sangat hati-hati oleh bank sentral.
“Kami akan hati-hati, tidak melihat begitu saja langsung kami melakukan respons. Kami harus yakinan permanen atau temporer dan dari mana sumbernya. Kedua, dalam hal menyikapi itu tidak perlu tiba-tiba kita harus menaikkan policy rate,” jelas dia.
Ia menambahkan, kebijakan lain yang bisa dilakukan BI adalah pengelolaan likuiditas melalui operasi moneter. Apalagi di sisi lain, bank sentral juga perlu mempertimbangkan stabilitas nilai tukar rupiah yang juga bisa berdampak terhadap inflasi. “Jadi nggak straight forward, jadi model itu membantu kita melihat kondisi ekonomi, tapi kemudian kita harus cek berbagai macam hal. Dan berbagai macam hal itu kami masih punya pilihan dan kami lakukan dengan hati-hati,” pungkasnya.
Perbankan Ngerem Kredit
Sementara itu Asisten Gubernur BI Juda Agung mengatakan Perbankan cenderung menahan penyaluran kredit karena masih melihat adanya risiko. Artinya penyaluran kredit yang rendah masih akan menjadi tantangan pada tahun depan.
Dijelaskannya saat ini dunia usaha masih melihat ketidakpastian yang tinggi sehingga masih enggan melakukan ekspansi. Dengan demikian, permintaan kredit perbankan masih tertahan.
Di sisi lain, perbankan juga cenderung menahan penyaluran kredit karena masih melihat adanya risiko yang tinggi di tengah pandemi Covid-19 ini.
“Yang jadi persoalan memang masalah kredit, walau bank memiliki likuiditas yang sangat melimpah, tapi belum bisa disalurkan ke sektor riil,” katanya, Senin (7/12/2020).
Juda menjelaskan, secara keseluruhan, sistem keuangan masih terjaga hingga saat ini meski dampak dari pandemi memberikan tekanan terhadap kredit bermasalah bank. “Stabilitas keuangan masih sangat terjaga, likuiditas di bank sangat melimpah, rasio AL/DPK sekitar 30 persen, ketahanan permodalan juga masih sangat kuat,” jelasnya.
Dia memandang, pemulihan ekonomi ke depan akan terus terjadi, terutama pada sektor korporasi besar, termasuk UMKM. Sehingga strategi yang akan dilakukan BI dalam mendorong penyaluran kredit adalah dengan mengakomodir kedua sisi tersebut, baik dunia usaha maupun perbankan. “Bagaimana mendorongnya, kita pertemukan antra sektor-sektor yang bisa mendorong ekonomi ke depan dengan perbankan. Di sektor UMKM juga penting, karena itu kebijakan ke depan harus meng-address UMKM,” katanya.
Adapun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), likuiditas perbankan hingga November 2020 masih berada pada level yang memadai.
Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (DPK) per 18 November 2020 tercatat sebesar 33,77 persen. Sementara itu, rasio kredit bermasalah secara gross pada Oktober 2020 tercatat sebesar 3,15 persen.
Sementara itu, pada periode Oktober 2002, pertumbuhan kredit mengalami pertumbuhan negatif sebesar -0,47 persen secara tahunan. jef, bis