Global-News.co.id
Indeks Metro Raya Utama

3 Tahun Shalla Marshanda Jadi ‘Kembang Amben’

Shalla Marshanda didampingi Marheni ibunya.

Usianya sudah remaja, tapi Shalla Marshanda hanya bisa tergolek di tempat tidur. Selama 3 tahun, Shalla menjadi “kembang amben”  alias hidup hanya di atas tempat tidur saja karena penyakit yang dideritanya. Sang ibu harus berjuang sendiri merawatnya. Keluarga ini butuh pertolongan Pemerintah maupun para dermawan agar bisa terus bertahan hidup.

Oleh: Retno Asri

Di usianya yang ke-13, seharusnya Shalla Marshanda sudah duduk di bangku SMP dan sedang mekar-mekarnya sebagai anak yang beranjak remaja. Faktanya, dia hanya tergolek di kasur ditemani bantal dan gulingnya.

Di atas kasur yang membentang di lantai ruangan berukuran 4×3 m yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya bersama sang bunda, Marheni, dan adiknya Alexa Anwar Oti (4), Shalla hanya bisa memandang tanpa bisa bicara. Dia pun tak bisa menggerakkan tangan atau kakinya karena semuanya kaku seperti terkunci.  Kedua tangannya melipat dan tak bisa diluruskan, sedang kaki kirinya dalam posisi melipat begitu pula kaki kanannya.

Karena kondisinya itu, praktis semuanya harus dilakukan di tempat tidur. Makan disuap, minum pakai dot (karena tak bisa duduk), begitu pun mandi.  Heni berujar, celana pelapis pampers putrinya banyak yang jadi molor karena untuk memakaikan dia harus mengikuti posisi kakinya agar tidak kesakitan. “Kalau salah dia akan merengek kesakitan. Kalau kaki kirinya bisa diluruskan, tapi harus pelan-pelan,” katanya.

Marheni mengungkap, saat berusia 2,5 bulan Shalla pernah mengalami panas tinggi hingga kejang.  “Waktu itu tengah malam jam 12, pas saya lagi main di rumah adik di Manukan. Saya bawa dia ke rumah sakit di daerah Manukan, tapi ditolak. Mereka tidak mau menerima Shalla. Kemudian saya bawa dia ke RS Gotong Royong, ditolak juga dan disarankan supaya langsung dibawa ke Sutomo (RSUD dr Soetomo),” kata perempuan berusia 43 tahun ini di kediamannya kawasan Pucangan gang I.

Di rumah sakit milik Pemprov Jatim inilah, Heni baru tahu kalau kejang yang dialami putri sulungnya menyebabkan saraf di otaknya terganggu. “Kata dokter, kena saraf otaknya,”  ujarnya kelu.

Selama satu bulan Shalla kecil menjalani rawat inap.  Sejumlah selang dipasang di tubuhnya. “Waktu itu juga sempat diambil sumsum tulang belakangnya.  Karena saya nggak kuat bayarnya, akhirnya saya bawa pulang,” kata Heni .

Lantaran diopname itulah, Shalla tak bisa mendapatkan ASI. Ketika pulang, dokter memesan agar banyak minum susu. Heni pun memberinya susu kambing.

Saat berusia 2,5 tahun, kenang perempuan yang pernah bekerja di Bali ini, putrinya juga bisa berjalan seperti anak lain. Hanya saja jalannya tidak terarah, kalau ada lobang yang seharusnya dihindari tetap dilanggar saja. Ini pula yang menyebabkan dia pernah tercebur di kali, tanpa diketahui Heni lantaran tertidur. “Waktu bangun saya tersadar kok Shalla nggak ada. Saya cari ternyata dia berada di kali tanpa bisa teriak,” ujar perempuan yang harus membiayai sendiri kebutuhan keluarganya lantaran sang suami diakui masuk penjara.

Ketika itu Shalla sebetulnya juga sudah bisa mengucapkan kata, namun hanya pendek-pendek. Kalau diajak bicara hanya mendengar tanpa mengerti artinya. Dia juga bisa tertawa.

Hingga usia 5 tahun, Shalla masih suka mengonsumsi bubur bayi. Nasi pun dibuat lembek karena dia tak bisa mengunyah. Meski diberi lauk ikan, hati, atau sayur bayam, dia tak mengunyahnya tapi langsung menelannya.  Begitu pun kalau makan pisang atau roti yang jadi makanan kesukaannya. Untuk minum, Shalla juga lebih suka memakai botol dot, dan ini berlangsung hingga sekarang.

Kemunduran perkembangan fisik Shalla muncul saat Heni melahirkan anaknya yang kedua. Diceritakan, dua bulan pasca mendapatkan adik, Shalla seperti menggoda. “Prek, tak mau bergerak. Maunya di tempat tidur.”

Melihat sulungnya demikian, Heni mencoba mencari pengobatan alternatif. Dia tak berani ke dokter atau rumah sakit lantaran tak memiliki biaya.  “Pernah saya bawa ke orang pinter, terus bancaan (selamatan) sampai habis Rp 600 ribu, ternyata nggak juga berubah,” katanya.

Pasrah, Heni membiarkan putrinya asal dia nyaman dengan posisinya. Saat adiknya masih bayi, Shalla juga bisa membantu menjaga adiknya.

Tanpa disadari, pertumbuhan Shalla malah semakin mundur. Heni lupa persisnya, sekitar 3 tahun lalu, sulungnya tak bisa lagi berdiri. Hingga sempat mendapat bantuan kursi roda dari Lurah Kertajaya pada masa itu, Johannes Kumbo. “Belakangan terpaksa saya jual, karena Shalla nggak bisa duduk. Saya juga butuh biaya untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya.

Untuk menyambung hidup, Heni terkadang berjualan sabun, sampo. Tapi karena tak memiliki modal, dia tak bisa lagi jualan.  Padahal selain kebutuhan makan seperti beras dan lainnya, Heni juga harus menyiapkan popok sekali pakai untuk Shalla yang hanya tergolek di tempat tidur. “Kadang-kadang ada yang membantu membelikan pampers. Ada juga yang memberi makan, kalau ada Jumat berkah. Tapi nggak tahu sekarang kok nggak ada lagi,” katanya Heni yang terkadang harus sembunyi dari tukang tagih, karena pinjamannya untuk kebutuhan sehari-hari yang semakin menumpuk.

Saat ada yang mengunjungi, Shalla tak memberikan respon. Tapi kalau kaget, karena mendengar orang batuk atau suara yang keras, dia akan langsung kejang dan matanya membelalak. Sehingga perlu ditenangkan.

Dengan kondisinya tersebut, Heni mengaku belum pernah mendapat bantuan dari dinas mana pun. “Terkadang saya kepikiran, kalau saya diambil duluan, terus siapa yang akan merawat Shalla karena dia sangat tergantung pada saya. Di dekat dia saya kadang mbatin ’Kalau Shalla mau pulang, silakan mama ikhlas. Tapi jangan mama dulu’,” ujar Heni dengan suara tersendat.*

baca juga :

Proliga 2023: Juara Bertahan Jakarta LavAni Hajar Samator

Redaksi Global News

Otot Wajah Juga Butuh Exercise

Redaksi Global News

Serahkan Semen dan Pasir, Polresta Sidoarjo Peduli Tempat Ibadah

Redaksi Global News