JAKARTA (global-news.co.id) – Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI dr Tri Hesty Widyastoeti Marwotosoeko SpM menegaskan, stem cell masih dalam penelitian berbasis pelayanan sehingga secara resmi belum dapat dijualbelikan. “Yang bisa diperjualbelikan adalah pengolahannya. Cell-nya belum dapat dijualbelikan karena masih penelitian berbasis pelayanan,” katanya di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (16/1).
Pernyataan itu disampaikan menyusul ditahannya seorang dokter pemilik Klinik Stem Cell di Jakarta bersama 2 tersangka lainnya. Dokter berinisial OH yang adalah dokter umum itu itu tidak memiliki kompetensi untuk melakukan praktik stem cell, mulai dari pengolahan, penyimpanan hingga praktik penyuntikan. Begitu pun YW dan LIP, rekannya.
Klinik stem cell ilegal itu tidak memiliki izin praktik melakukan penyuntikan stem cell, tidak memiliki izin edar, dan menggunakan alat farmasi tidak sesuai standar. Klinik tersebut sudah beroperasi 3 tahun dan telah meraup omset mencapai Rp. 10 miliar. Stem cell dijual per ampul tergantung jumlah sel. Jika dalam ampul terdapat 100 cells maka dijual dengan harga Rp 100 juta, 150 cells Rp 150 juta, dan seterusnya.
Terkait stem cell itu sendiri, Hesty mengakui kurangnya informasi dan pemahaman di masyarakat mengenai sel punca dan jaringan sebagai alternatif pengobatan untuk penyakit degeneratif dan genetik. Akibatnya banyak yang memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih keuntungan. Sehingga banyak beredar produk yang menyebut sebagai produk sel punca padahal pada kenyataannya bukan.
Dijelaskan, sampai saat ini penggunaan sel punca yang dilaksanakan masih pada tahap penelitian berbasis pelayanan. “Itupun dilakukan di rumah sakit yang telah mendapatkan penetapan dari Menteri Kesehatan atau dilakukan di klinik utama dan rumah sakit yang telah kerja sama dengan rumah sakit yang sudah mendapatkan penetapan dari Menteri Kesehatan,”ujar Hesti.
Sejauh ini rumah sakit penyelenggara pelayanan sel punca masih terbatas karena masih terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia terkait pelayanan sel punca. Secara regulasi, kebijakan stem cell sudah dibuat Kemenkes RI bekerjasama dengan Komite Sel Punca dan Sel, antara lain Peraturan Menteri Kesehatan nomor 48 tahun 2012 tentang Bank Sel Punca Darah Tali Pusat, Peraturan Menteri Kesehatan nomor 50 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengolahan Sel Punca Untuk Aplikasi Klinis, Peraturan Menteri Kesehatan nomor 62 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Bank Jaringan dan atau Sel, dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 32 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan atau Sel.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan 32/2014 terdapat 11 rumah sakit yang sudah mendapatkan penetapan untuk melakukan penelitian berbasis pelayanan sel punca di Indonesia, di antaranya RSUP dr Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RSUD dr Soetomo (Surabaya), RSUP Fatmawati (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta), RSUP Persahabatan (Jakarta), RSUP dr Hasan Sadikin (Bandung), RSUP dr Sardjito (Yogyakarta), RS dr Karyadi (Semarang), dan RSUP Sanglah (Bali). Sementara sesuai SK Menkes no HK.02.02/I/5190/2019 terdapat RSPAD Gatot Subroto (Jakarta) dan beberapa laboratorium sel punca yang sudah berizin.
“Sesuai hasil kordinasi dengan BPOM, belum ada produk sel punca yang dapat dikomersialisasikan yang ditandai dengan penerbitan izin edar. Yang ada baru prototype sel punca yang berasal dari diri sendiri (autologus) yang diproduksi oleh RSCM dan RS Airlangga bekerjasama dengan perusahaan farmasi, dan sedang dalam proses untuk mendapatkan izin edar dari BPOM,” pungkasnya.eno