NEW DELHI (global-news.co.id) – Beberapa negara bagian di India mulai menyuarakan perlawanan terhadap UU Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang isinya menyudutkan umat Islam.
Negara Bagian Kerala merupakan yang pertama menyatakan ketidaksetujuannya dengan UU yang diperjuangkan kelompok nasionalis Hindu di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi itu.
CAA memberikan ‘karpet merah’ kepada kelompok minoritas seperti pemeluk Hindu, Budha, Sikh, dan Kristen, asal tiga negara, yakni Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan, sehingga bisa mendapatkan status kewarganegaraan dengan cepat. Namun CAA tak memasukkan pemeluk Islam dalam UU itu.
Tak heran jika pemberlakuan CAA memicu unjuk rasa besar-besaran di seluruh India. Bukan hanya umat Islam yang menentang tapi juga kelompok lain. Mereka menganggap bahwa CAA merupakan langkah awal pemerintahan Modi untuk mengubah India menjadi negara Hindu, bukan sekuler lagi.
UU ini juga memunculkan anggapan luas bahwa muslim di India bisa saja dikategorikan sebagai orang asing, apalagi di tengah pengajuan National Register of Citizens (NRC) yang baru.
India menerapkan sistem pemerintahan federal di mana wilayah memiliki kekuasaan untuk menentukan sikap untuk hal tertentu. Sementara kelompok Modi, di bawah Partai Bharatiya Janata (BJP), menguasai pemerintahan pusat.
Kerala dikuasai Front Demokratik Kiri, sebuah koalisi partai-partai sayap kiri yang berseberangan dengan BJP. Pada Jumat lalu, Menteri Negara Bagian Kerala Pinarayi Vijayan menindaklanjuti resolusi yang disampaikannya pada 31 Desember 2019 dengan meminta rekan-rekannya di 11 negara bagian yang tak dipimpin BJP untuk mempertimbangkan langkah yang sama.
Beberapa negara bagian itu menegaskan tidak akan menerapkan CAA dan NRC. Menteri Bengal Barat dan Kerala juga menegaskan tak akan melakukan aktivitas apa pun terkait Daftar Kependudukan Nasional yang digambarkan sebagai pendahulu dari NRC.
Negara Bagian Bihar, di mana pemerintahannya berbagi antara politisi BJP dan kelompok oposisi, juga tidak akan menerapkan NRC. Menteri Bihar Nitish Kumar mengatakan, dia tidak akan membiarkan NRC diterapkan di wilayah yang dipimpinnya.
Meski demikian, pemerintah negara bagian akan menghadapi kendala dalam menentang CAA dan NRC karena pembuatan UU berkaitan dengan kewarganegaraan merupakan hak parlemen pusat.
Faizan Mustafa, ahli hukum konstitusi, mengatakan, majelis permusyawaratan memiliki hak untuk mengeluarkan resolusi yang menyatakan keberatan tentang undang-undang yang disahkan parlemen.
“Ini lebih merupakan pernyataan politik bahwa majelis permusyawaratan berhak untuk membuat, daripada setiap langkah konstitusional atau hukum kewarganegaraan, yang merupakan domain khusus parlemen,” ujarnya, dikutip dari The Straits Times, Senin (6/1/2020).
Lebih lanjut Mustafa menambahkan, jika 11 negara bagian juga mengeluarkan resolusi serupa terhadap CAA maka akan menciptakan tekanan moral kepada pemerintahan federal.
“Ini akan menyoroti fakta bahwa negara tidak satu suara menyikapi UU ini. Karena itu, pemerintah mungkin diminta untuk mengubah pikiran meskipun mereka mengatakan tidak akan mundur 1 inci pun,” tuturnya.
Perlawanan terhadap CAA melalui jalur konstitusi juga berlangsung. Beberapa pihak mengajukan protes atau semacam peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Kasus ini akan disidangkan pada 22 Januari 2020. zis, afp, ine