SURABAYA (global-news.co.id) – Resah dengan status rumah dinas yang ditempati, puluhan keluarga eks karyawan PT Kereta Api (KAI) dari enam daerah wadul ke DPRD Jatim, Rabu (29/1/2020). Mereka berharap anggota dewan ikut memberikan perlindungan atas status rumah dinas yang telah mereka tempati selama puluhan tahun.
Perwakilan warga yang hadir pada pertemuan tersebut berasal dari Jember, Madiun, Malang, Kediri, Blitar dan Surabaya.
M Ridwan, salah seorang perwakilan massa menjelaskan bahwa pihaknya menuntut kejelasan kepemilikan tanah yang mereka tempati. “Sebenarnya, kami ingin menuntut kejelasan, sebenarnya ini tanah milik KAI atau negara?,” kata Ridwan yang juga warga Madiun ini seusai pertemuan di ruang komisi A DPRD Jatim, Rabu (29/1/2020).
Menurut mereka, apabila tanah tersebut menjadi milik negara maka warga yang selama ini telah menempati tanah tersebut berpeluang dapat mengambil alih. “Kalau menjadi milik negara, namun tak digunakan oleh BUMN dan di atasnya ada bangunan, maka negara akan memprioritaskan kepentingan masyarakat dengan perpindahan hak,” katanya.
Namun, kalau tanah itu menjadi milik KAI, maka warga meminta bukti dokumen. “Masalahnya, statusnya belum jelas. Katanya, milik PT KAI. Dasarnya apa? Aset tanah ini apakah menjadi milik KAI? Juga belum ada jawaban. Selama ini, didasarkan pada jalur kereta,” katanya.
Kehadiran rombongan diterima Ketua Komisi A DPRD Jatim Mayjen TNI (Purn) Istu Subagio, anggota Komisi A DPRD Jatim MI Andy Firasadi, Diana Alamansyah Verawati, Ahmad Firdaus Febriyanto dan Armuji.
Anggota Komisi A DPRD Jatim Diana AV mengatakan pihaknya akan melakukan koordinasi dan menyampaikan aspirasi masyarakat di enam daerah ini ke pemerintah pusat. “Kami akan berkoordinasi dengan Komisi II DPR RI, BUMN dan PT KAI untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Saya meminta kepada PT KAI Daop VIII untuk tidak melakukan eksekusi terlebih dahulu sebelum ada status quo dari PT KAI pusat,” pintanya.
Senada, anggota komisi A DPRD Jatim MI Andy Firasadi menjelaskan, selain KAI dan warga, pemerintah bersama Badan Pertahanan Nasional (BPN) juga harus turun tangan. Apalagi, berdasarkan dengar pendapat tersebut pihaknya juga mendapatkan beberapa temuan. Di antaranya, adanya perpindahan status tanah dari yang sebelumnya milik KAI, kini menjadi milik perorangan (private). “Oleh karena itu, kalau yang lain dapat (berpindah status), kenapa mereka saat ini tak bisa? Ini diskriminasi. Seharusnya, kalau sebelumnya bisa mendapatkan rumah dinas dengan status hak milik atau pakai, seharusnya keluarga mantan PT KAI yang lain juga bisa,” kata Andy.
Selain itu, pihaknya juga menemukan adanya anggota karyawan aktif KAI yang dipaksa untuk meninggalkan rumah dinas. “Kami menanyakan kepada pihak KAI, berapa aset KAI yang beralih ke pihak swasta?,” tegasnya.
Sebelum adanya kejelasan tersebut, pihaknya juga akan meminta KAI untuk tak melakukan eksekusi perumahan tersebut. “Kami akan menyurati KAI agar rumah tersebut terlebih dahulu berstatus quo. Sehingga, eks karyawan KAI tak resah,” katanya.
Selain itu, setelah pihaknya mendapatkan kejelasan status tanah, warga bisa melakukan pengalihan hak milik, seperti halnya rumah yang lain. “Kalau ada skema pelepasan, warga bukan hanya siap untuk menyewa namun siap membeli,” pungkasnya. ani