SURABAYA (global-news.co.id) – Memeringati Hari AIDS Sedunia, kelompok mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang tergabung dalam tim Standing Committee on Sexual and Reproductive Health and Rights including HIV and AIDS Center for Indonesian Medical Students’ Activities (SCORA CIMSA) Unair mengajak masyarakat lebih peduli pada HIV dan AIDS. Bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) dan Inti Muda, SCORA CIMSA Unair menggelar penyuluhan bertajuk Bersama Masyarakat Wujudkan 3 Zero HIV/AIDS pada siswa SMK PGRI 4 dan masyarakat sekitar di Balai RW 10 di kawasan Jl Plemahan, Sabtu (14/12/2019).
Dalam paparannya di kegiatan tersebut, dr Febrian Renatasari SpKK menjelaskan kasus HIV/AIDS ini merupakan fenomena gunung es, yang terlihat hanya yang dipermukaan terlihat sedikit padahal sejatinya cukup banyak. “Ini karena kesadaran untuk melakukan pemeriksaan pada mereka yang berisiko tinggi masih rendah,” ujarnya.
Jawa Timur sendiri menempati peringkat kedua dalam hal jumlah penderita HIV, sebanyak 51.990 kasus. Di urutan pertama Jakarta (62.108) dan ketiga Jawa Barat (36.853), Papua (34.473), Jawa Tengah (30.257). Sedang di Surabaya pada 2019 terdapat 520 penderita HIV dan 186 penderita AIDS menurun dibanding tahun sebelumnya di mana kasus HIV sebanyak 777 dan AIDS 319 kasus. “Ini hanya yang muncul dan memeriksakan diri. Masih banyak yang enggan memeriksakan diri, antara lain karena khawatir stigma atau dikucilkan masyarakat,” lanjut Febrian.
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya daya tahan atau kekebalan tubuh lantaran terinfeksi virus HIV (human immunodeficiency virus). Menurunnya kekebalan tubuh ini ini membuat penyakit penyerta dengan mudah menyerang bahkan mematikan. “Banyak yang menyebut HIV/AIDS ini sebagai penyakit mematikan, padahal yang mematikan itu sebetulnya penyakit penyertanya,” ujar dokter yang sehari-harinya berdinas di RS Bhakti Dharma Husada Surabaya ini.
Dia mengakui AIDS masih dianggap sebanyak momok, mengingat mereka yang mengidap umumnya terus meninggal. “Dianggap momok, karena sejauh ini belum ada obat yang bisa membunuh virus HIV termasuk virus lainnya seperti hepatitis dan cacar air. Yang ada adalah obat untuk menekan supaya virus tidak berkembang bertambah banyak. Caranya dengan mengonsumsi obat tersebut secara benar dan teratur, serta meningkatkan daya tahan tubuh,” terangnya.
Penekanan virus ini penting dilakukan agar tidak berkepanjangan yang membuat penderita jadi terkena AIDS akibat menurunnya daya tahan tubuh. Mereka yang terkena HIV antara lain menunjukkan gejala berat badannya turun drastis dalam 3 bulan, sering sariawan, diare berkepanjangan. Ketika ini terjadi, lanjut Febrian, segera periksakan diri.
Penularan virus HIV sendiri terjadi melalui darah, air mani, dan ASI sehingga hindari pemakaian jarum suntik secara bergantian, atau melakukan hubungan seksual secara bebas. Untuk yang terakhir ini berisiko menular pada pasangan dalam hal ini istri yang bisa juga pada anak atau janin bila dia hamil. Dan penularan tidak akan terjadi karena jabat tangan, karena memakai toilet, gigitan nyamuk, atau di kolam renang. Virus HIV ini akan mati sesaat berada di udara bebas.
Menurut Febrian, ketidaktahuan atau kurangnya informasi membuat kasus HIV ini meningkat di populasi remaja dan mereka yang dalam usia produktif atau 15-55 tahun. Sejak 2014 lalu pemerintah sudah mencanangkan 3 zero HIV, yaitu zero new infection, zero AIDS related death, dan zero discrimination. Target 3 zero diharapkan berhasil terwujud pada 2030.
Ketua SCORA CIMSA Hani menyebut, berdasarkan data Dinkes Surabaya 2017 prevalensi HIV di wilayah Kedungdoro termasuk cukup tinggi yaitu 46 orang (16%). Tertinggi RSUD dr Soetomo (138 orang/47%), Putat Jaya (62/21%), dan Perak Timur (45 orang/16%). “Karena itulah kami memilih kawasan ini sebagai tempat untuk penyuluhan,” ujarnya. ret