JAKARTA (global-news.co.id) – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendukung wacana kebijakan sertifikasi pranikah. Kepala BKKBN, dr Hasto Wardoyo SpOG, menyebut selama ini banyak pasangan usia subur yang sudah menikah tapi tidak mengerti tentang proses reproduksi, tidak mengerti bagaimana mencegah kekurangan gizi pada anak.
Dalam diskusi bertema ‘Perlukah Sertifikasi Perkawinan?’ di Jakarta, Jumat (22/11/2019), Hasto berharap sertifikasi tersebut bisa memasukkan materi tentang proses reproduksi. Apalagi banyak pasangan yang menikah dini tapi tidak mengerti risiko kehamilan. Ketidaktahuan itu dapat menyebabkan kesehatan reproduksi pasangan tersebut terganggu dan dapat pula berpengaruh pada kesehatan sang bayi saat dilahirkan.
Saat ini, pemerintah ingin menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk Indonesia maju. Untuk menciptakan SDM unggul, lanjut mantan Bupati Kulon Progo ini, pasangan yang ingin menikah harus paham proses reproduksi. “Kami punya kewajiban, Pak Presiden (Joko Widodo) meminta supaya kita mencetak generasi yang unggul untuk Indonesia maju, sehingga keluarga menjadi wadah penting. Oleh karena itu, kami memandang untuk membentuk generasi unggul harus ada proses reproduksi yang baik,” ujarnya.
Hasto mencontohkan mereka yang menikah di bawah usia 19 tahun. Saat melakukan hubungan seksual, mulut rahim yang belum matang berisiko terkena kanker mulut rahim. “Tapi perempuan ini tidak mengerti risiko itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hasto mengatakan banyak pasangan yang ingin menikah tapi tidak mengerti pencegahan stunting atau masalah kekurangan gizi anak. Usia pernikahan perempuan lebih 20 tahun menjadi syarat tidak terjadi stunting anak.
“Kalau mau nikah mereka ditanya, ‘mau nikah ya sekarang? kamu ngerti tidak agar tidak stunting?’ Dia juga tidak ngerti,” katanya.
Hasto menambahkan, bimbingan tersebut juga dibutuhkan agar setiap pasangan dapat membesarkan anaknya lewat cara yang benar untuk menghindari stunting atau kekurangan gizi. Materi-materi dalam bimbingan untuk sertifikasi tersebut belum banyak disampaikan lewat bangku sekolah karena dianggap tabu. “Banyak ibu dan anak mati karena ibu tidak mengerti bagaimana persiapan menghadapi kehamilan dan kelahiran karena di SD, SMP, SMA masih dianggap tabu untuk diajarkan,” katanya.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Jatim, dr Kohar Hari Santoso SpAn, melihat sertifikasi pranikah itu lebih pada upaya membekali calon pengantin atau mereka yang mau berkeluarga supaya paham bagaimana berkeluarga itu.
Kursus untuk calon pengantin itu maksudnya untuk memberdayakan supaya yang menikah paham secara psikologis, secara fisik bagaimana membina suatu keluarga. “Kalau itu (kursus) dilakukan, dampaknya positif, misalnya kalau hamil calon ibu itu tahu apa yang harus dilakukan dengan kehamilannya. Yang suami akan tahu apa yang mesti dipersiapkan kalau puteranya lahir. Pasangan ini tahu cara mendidik dan merawat anak yang baik, bahwa komunikasi suami istri yang positif akan mengurangi angka perceraian, mengurangi angka gizi buruk hingga stunting,” kata Kohar.
Dia menegaskan, terkait sertifikasi pranikah ini bukan masalah lulus atau tidak lulus, tapi semua harus bisa. “Ada yang sekali sudah langsung paham, tapi ada yang beberapa kali supaya betul-betul paham bagaimana membina dan menjaga rumahtangga, bagaimana merawat anak dan keluarga sehingga tercipta SDM yang unggul. Jadi tidak ada yang tidak lulus, tinggal kecepatan menangkap saja,” pungkas Kohar.ret