Oleh: Imam Shamsi Ali
(Imam Masjid New York Amerika Serikat, pendiri dan Presiden Nusantara Foundation)
HARI itu seharusnya hari bersejarah. Tapi biarlah catatan sejarah itu tercatat di langit. Terkadang hiruk pikuk dunia menjadi labil. Rentang mengantar ke “undesirable end” (ujung yang tidak diinginkan).
Di tahun 2009 itu untuk kedua kalinya seorang Muslim di Amerika terpilih sebagai penerima “Ellis Island Medal of Honor”. Sebuah penghargaan tertinggi non militer yang diberikan kepada “immigrant Americans” yang dianggap memiliki jasa kepada negara ini.
Dan Alhamdulillah dalam sejarah pembelian award itu saya orang kedua, setelah beberapa tahun sebelumnya seorang Muslim yang lain bernama “Muhammad Ali” terpilih sebagai penerima.
Kebanggaan saya adalah pertama karena satu-satunya orang Islam penerima saat itu (2009). Kebanggaan khusus karena saya pertama imigran Indonesia yang menerima penghargaan ini.
Selain penghargaan dengan sebuah medali, nama-nama para “awardees” (penerima penghargaan) juga dituliskan di museum pulau “Ellis” (Ellis Island), tempat imigran pertama tiba di kota New York, Amerika.
Konon kabarnya juga nama-nama para penerima award (penghargaan) ini dibacakan dalam sebuah resolusi yang ditetapkan oleh Kongress AS.
Saat itu media sosial belum seheboh saat ini. Sehingga peristiwa ini tidak juga heboh. Saya senang karena dengan heningnya peristiwa itu menjadikan langit dengan tenang menerimanya.
Hal lain yang menjadikan saya senang karena penilaian pemerintah Amerika untuk memilih saya karena saya dianggap berjasa dalam mengembangkan hubungan antar komunitas agama di Amerika Serikat.
Apapun itu, semoga penghargaan ini menjadi penyemangat, sekaligus pengingat bahwa tugas di hadapan mata terlalu besar dan berat. Apalagi di saat Islam semakin disalahpahami, bahkan dicurigai sebagai “ancaman”.
Penghargaan ini mengingatkan saya bahwa kesalahpahaman dan kecurigaan itu justru harus dijadikan “peluang” untuk membangun persahabatan dan kerjasama. Bahwa pada semua orang dan kelompok ada celah-celah “kebajikan” (righteousness).
Tantangan kita bukan pada kesalahpahaman, bahkan kebencian orang lain. Sebab terkadang memang mereka punya alasan, walaupun alasan itu belum terklarifikasi.
Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana membalik “mispersepsi” dan “kecurigaan” itu menjadi “opportunities” (peluang-peluang) untuk membangun kesepahaman dan kerjasama (partnerships).
Kini pemberian penghargaan “Ellis Island Medal of Honor” telah berlalu satu dekade (10 tahun). Tentu masa yang telah lama. Tapi penyesalan itu kembali hadir ketika mengingat masa-masa lalu yang kurang produktif.
Oleh karenanya masanya untuk mengingatkan diri sendiri. Bahwa masih tersisa, sekali lagi tersisa, karena memang tinggal sisa-sisa umur yang ada. Apakah sisa-sisa umur ini dimanfaatkan? Atau akankah lagi berlalu tanpa karya yang bermakna?
Tentu orang yang bijak (al-qayyis) akan selalu melakukan penghisaban (introspeksi). Melalui introspeksi orang bijak berani melakukan kritikan pada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Kritikan itulah yang nanti melahirkan kesadaran untuk melakukan “self change” (perubahan).
Pada intinya hanya dengan berani melakukan perubahan akan terbangun karya-karya yang diharapkan. Bukankah kita semua sadar bahwa pada akhirnya hanya karyalah yang dibangun di atas motivasi iman yang akan diperhitungkan?
“Dan berkaryalah! Niscaya Allah akan menilai dan rasulNya dan semua orang-orang yang beriman” (Al-Quran).
Penghargaan bukan tujuan dalam berkarya. Penghargaan hanya motivasi dan pengingat semata. Semoga kita semua termotivasi dan teringatkan selalu akan dahasyatnya tanggung jawab kita. Baik pada tataran individu dan juga pada tataran kolektif.
Semoga Allah menjaga!