Pernahkah suatu ketika tiba-tiba mencium bau yang asing pada tempat tak seharusnya? Misal ketika berada di dapur mencium aroma melati, atau tengah berdiam diri di kamar dan tiba-tiba tercium bau busuk. Kalangan medis menyebut fenomena tersebur sebagai phantosmia alias si bau hantu. Meski sepele, penyakit ini bisa jadi tanda kondisi kesehatan yang lebih serius.
Sebagian kalangan menganggap fenomena ini disebabkan keberadaan makhluk halus. Di Indonesia dan mungkin di berbagai negara, kondisi ini dikaitkan dengan fenomena hadirnya makhluk halus. Namun tidak sedikit yang sangsi dan menganggap fenomena tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah.
Phantosmia (phantom smells) adalah situasi saat Anda mencium bau tertentu, misalnya bau telur busuk, bau melati, bau bangkai, atau bau rebusan dan bau-bau lainnya. Namun kenyataannya, tidak ada sumber bau tersebut di dekat Anda.
Mengutip Mayo Clinic, phantosmia merupakan bentuk halusinasi penciuman atau oldfactory hallucination. Phantosmia sebetulnya adalah salah satu golongan dari lima jenis gangguan penciuman. Empat gangguan lainnya adalah: Anosmia, yaitu hilangnya bau. Hiposmia, yaitu berkurangnya sensitivitas terhadap bau. Disosmia, yaitu distorsi persepsi bau. Dan, Agnosia, yaitu ketidakmampuan untuk membedakan dan indentifikasi bau secara lisan. Walaupun sebenarnya kemampuan untuk membedakan bau masih dalam batas normal.
Mengutip klikdokter.com sebagaimana dilansir Medical News Today, phantosmia disebabkan oleh halusinasi indra penciuman atas bau tertentu. Aroma tersebut dirasakan bervariasi dari satu orang dengan orang lainnya, tergantung pada pengalaman pribadi. Ada yang mencium aroma roti panggang yang terbakar, logam, bau kimia, hingga wangi bunga.
Mayo Clinic menulis, phantosmia juga disebut sebagai halusinasi penciuman atau olfactory hallucination. Bau yang terdeteksi juga bervariasi, ada orang yang mencium bau got, namun ada juga yang mencium rumput kering.
Para ahli medis belum dapat menemukan penyebab pasti kondisi ini. Penelitian dalam JAMA Otolaryngology-Head & Neck Surgery menemukan satu dari 15 orang Amerika Serikat berusia di atas 40 tahun (sekitar 6,5 persen) mengalami phantosmia atau phantom odors ini.
IFL Science, situs terkemuka yang menerbitkan artikel ilmiah populer menyebut, phantosmia merupakan fenomena yang jarang dipahami. Kenapa seseorang bisa mengalaminya juga masih menjadi misteri. Penelitian di Amerika Serikat ini memberikan informasi kepada para peneliti, tentang siapa yang mengalami, dan seberapa sering hal itu terjadi di Amerika Serikat. Penelitian yang dipimpin Kathleen Bainbridge, PhD dari Epidemiology and Biostatistics Program di National Institute of Deafness and Other Communication Disorders (bagian dari National Institute of Health, mempelajari data hasil survei National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) antara tahun 2011 – 2014, terhadap 7.417 partisipan yang berusia di atas 40 tahun.
Menurut Medical Express, data dari NHANES ini dikumpulkan oleh National Center for Health Statistics, yang merupakan bagian dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dan sebagian didanai oleh National Institute of Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD).
Dalam rilis media dari National Institutes of Health (NIH) disebutkan para peneliti juga mengeksplorasi korelasi antara phantom odors dengan karakteristik para peserta, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, ras/etnis, status sosial ekonomi, status kesehatan khusus dan status kesehatan secara umum.
Mereka menemukan, kemampuan untuk mengidentifikasi bau di lingkungan sekitar menurun seiring bertambahnya usia, dan tidak terkait dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi bau dengan benar.
Live Science melaporkan, penelitian tersebut selain memperkirakan 6,5 persen orang dewasa Amerika Serikat mengalami phantosmia, juga menunjukkan sekitar dua-pertiga dari orang-orang dengan ‘hidung yang menipu’ adalah perempuan. Dan umumnya terjadi pada orang-orang dengan status kesehatan buruk. Faktor lain yang dapat dihubungkan dengan meningkatkan frekuensi ‘bau hantu’ adalah mulut selalu kering, dan riwayat luka kepala serius.
Donald Leopold, MD, salah satu penulis penelitian yang juga seorang profesor klinis di Department of Surgery, University of Vermont Medical Center, Burlington, menyatakan pasien yang merasakan ‘bau hantu’ kuat, sering memiliki kualitas hidup rendah, dan kadang-kadang tidak dapat mempertahankan berat badan sehat.
Beberapa peneliti juga memperkirakan orang-orang dengan keadaan sosial ekonomi yang lebih rendah secara umum lebih terpapar dengan polusi dan racun di lingkungan mereka, hal ini juga dapat berkontribusi pada ‘bau hantu’ yang mereka rasakan.
Lebih lanjut Bainbridge mengatakan, yang mengejutkan timnya adalah menurunnya tingkat ‘bau hantu’ di antara peserta berusia lebih dari 60 tahun. Dari 6,5 persen pada peserta lebih muda, menjadi 5,4 persen pada mereka yang lebih tua.
Sejauh ini, para ilmuwan masih belum dapat memahami akan penyebab terjadinya fenomena ini. “Kondisi ini bisa terkait dengan sel-sel pengindraan bau yang terlalu aktif di rongga hidung, atau mungkin kerusakan di bagian otak yang memahami sinyal bau,” ujar Bainbridge.
Hanya 11 persen dari orang-orang yang mengalami bau hantu mengatakan mereka pernah berkonsultasi dengan dokter. Hal ini membuktikan bahwa penciuman sering diabaikan. Padahal menurut Dr. Alan Hirsch dari Smell & Taste Treatment and Research Foundation, di Chicago, ‘bau hantu’ dapat merupakan pertanda sesuatu yang serius sedang terjadi. “Sudah pasti harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh,” jelasnya. “Hal tersebut dapat berarti tumor, kista, atau beberapa penyebab infeksi di area otak, tempat di mana bau diproses,” ujar Alan Hirsch.
“Masalah dengan indera penciuman sering kali diabaikan, padahal itu merupakan hal yang penting,” kata Judith A. Cooper, direktur pelaksana National Institute on Deafness and Communication Disorders, dalam NBC News. “Hal tersebut memiliki dampak yang besar terhadap nafsu makan, pemilihan makanan dan kemampuan untuk mencium sinyal bahaya, seperti api, kebocoran gas maupun makanan basi.(ins)