Diaspora asal Jawa Timur ini sudah 16 tahun di Amerika Serikat (AS). Tahun 2002 dia merantau ke AS. Suka duka dialaminya selama merantau di negerinya Donald Trump itu.
LAPORAN GATOT SUSANTO
CIE SIANG tidak pernah menyangka sekarang hidup di Philadelphia, Pensylvania, Amerika Serikat. Sebab masa kecilnya dihabiskan bersama keluarga di kota tape, Bondowoso, Jawa Timur. Saat itu kondisi perekonomian di Tanah Air belum membaik sehingga Cie Siang pun mencoba mencari kehidupan yang lebih baik dengan merantau ke Amerika Serikat.
Namun Cie Siang tidak pergi dengan pikiran kosong. Perempuan berbadan subur ini pun sempat les Bahasa Inggris. Namun ilmu bahasa asing yang dia terima di tempat kursus ternyata tidak bisa diterapkan ketika dia benar-benar menginjakkan kakinya di negeri Paman Sam. Bahkan dia menyebut tidak bisa berkomunikasi dengan warga setempat sama sekali. Artinya, saat merantau dulu dia bonek. Bondho nekat.
“Pertama kali sampai USA , saya tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Padahal saya sudah les Bahasa Inggris sebelum ke USA, ternyata apa yang saya pelajari beda banget sama yang saya alami di USA. Mereka kalau ngomong cepet banget dan saya susah ngartiin apa yang diomongkan,” kata Cie Siang kepada Global News Rabu 2 Mei 2018.
Saat pertama datang ke Amerika, Cie Siang langsung menuju Gereja Bethany. Dia ternyata tidak sendiri di tempat ibadah ini sebab banyak komunitas orang Indonesia yang saling membantu. Para diaspora asal Indonesia yang sudah lama tinggal di Philadelphia berusaha mencarikan pekerjaan, informasi rumah tempat tinggal atau kos dan keperluan lain.
“Teman-teman sesama WNI sangat membantu. Dan saya bertemu dengan suami saya juga di sana. Setelah saya menikah, dan mempunyai anak, saya tidak bekerja lagi,” katanya.
Dia merasa beruntung banyak memiliki teman yang mendukung kala hidup susah di AS. Ketika itu dia sehari-hari hanya makan nasi lauk sosis atau telur. Bahkan sering hanya mie instan. Tujuannya agar bisa menabung uang hasil kerja.
“Setelah berapa hari di USA, saya bertemu dengan teman yang sudah tinggal lama di USA, orang Indo juga dan dia buka catering, pelanggannya buuuanyak,” ujarnya
Ketika itu teman ini bertanya kepadanya. “Cie Siang kamu masak apa? Dengan malu saya jawab sejujurnya, masak sosis. Emang sosis dimasak apa? Katanya lagi. Saya jawab di goreng. Dia tanya lagi, lalu sama apa? Saya jawab, hanya sosis doang. Dia heran, setiap hari kamu makan seperti itu? Saya jawab sambil malu, iya…” katanya.
Tanpa disangka, temannya tergerak mengirim masakan setiap hari untuknya. Gratis. Padahal teman baru dikenal di AS. “Pertama saya tolak, saya bilang gak papà terima kasih. Tapi bener-bener dikirim setiap hari masakan dengan menu berbeda. Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan. Kalau bukan Tuhan , itu tidak mungkin. Dan sejak itu saya memanggil dia ‘mammy’ sebagai penganti mama saya yang ada di Indonesia. Gereja Bethany itu di Philadelphia , salah satu gereja terbesar di kota Philadelphia,” katanya.
Resep Nenek
Yang juga sangat berkesan adalah saat Cie Siang mulai merintis usaha kuliner. Seringkali seorang anak meremehkan saran orang tua. Apalagi orang tua yang kuno dan tinggal di kota kecil di Jawa Timur, sehingga ketika memberi saran tentang sesuatu yang bisa diterapkan di negara yang super modern seperti Amerika, saran itu pun tidak dihiraukan. Hal itu sempat dialami oleh Cie Siang. Padahal saran orang tua itu ternyata berguna ketika hidup di negeri orang.
“Saran saya buat teman-teman, apa pun yang orang tua kita katakan harap diingat dan jangan dibantah,” ujarnya.
Cie Siang pun ingat orang tuanya di Bondowoso. Sebelum berangkat ke Amerika, sang nenek tiba-tiba memberinya resep cara membuat makanan. Bukan menu yang terkenal. Resep nenek adalah cara membuat kue Cucur. “Ini resep cucur. Kamu bisa bikin kue lalu dijual di sana,” kata sang nenek bersemangat sebelum cucunya berangkat ke AS.
“Oalah Mak, saya ke USA mau kerja, nggak mau jualan kue!” jawab Cie Siang. Dalam hati, dia juga meremehkan resep sang nenek, sebab mana laku kue semacam itu dijual di Amerika. Sebagai remaja yang sudah terkena virus American Dream, Cie Siang juga membayangkan yang serba wah hidup di Amerika. Dia sudah memikirkan suasana glamor seperti digambarkan dalam film-film Hollywood yang sering dia tonton di gedung bioskop di kotanya atau lewat layar televisi. Namun, ternyata resep kue tradisional nenek muncul juga di pikirannya pada saat tertentu ketika sudah hidup di Amerika.
“Ketika saya hamil anak pertama, tiba-tiba kepengen makan getas/ gemblong tapi gak ada yang jual. Jalan satu-satunya telepon keluarga di Indonesia tanya resepnya apa. Puji Tuhan, ketika diberi resep nenek, lalu saya buat, jadi deh kue impian dari tanah air,” kata Cie Siang dengan tersenyum.
Bahkan bukan hanya untuk dinikmati sendiri. Resep nenek ini pula yang menjadi embrio dirinya membuka usaha. Sebab, setelah membuat kue itu dia lalu minta agar dicoba oleh teman-temannya. Dan ternyata mereka suka. Bahkan beberapa teman juga ikut order. “Dulu belum ada FB seperti sekarang. Jualnya hanya ke teman-teman sendiri,” katanya.
Resep kue tradisional bukan hanya cucur, getas, atau gemblong saja. Dia lalu mencoba kue lain. Dan ini menjadi pengalaman tak terlupakan ketika mencoba resep membuat kue bikang. Betapa tidak, semua resep sudah dia coba. Semua ahli kue bikang di daerah asalnya sudah ditanya, tapi setelah dia terapkan satu per satu langkahnya ternyata belum juga berhasil.
Berkali-kali dia mencoba belum berhasil. Cie Siang memutar otak. Ada apa? Apa ada yang salah? “Padahal semua langkah-langkahnya sudah saya ikuti. Kalau di Indonesia kan pakai santan asli, di sini santan kalengan, sehingga beda banget hasilnya,” katanya.
Lantas bagaimana hasilnya? Bikang produksi Cie Siang ternyata mirip batu. Ketika sejumlah temannya dia minta mencoba kue ini, mereka kompak menilai: keras!
“Saya kasih tester ke temen saya. Mereka bilang, kue ini (bikang) kalau dilempar ke anjing, pasti bisa ‘kaing… kaing…’ sebab keras banget seperti batu hahaha,” katanya sambil tertawa ngakak.
Dan itulah tantangan dari seseorang yang menggeluti kuliner. Cie Siang terus saja mencoba resep demi resep hingga akhirnya berhasil membuat bikang yang enak dan lembut. Tidak lagi “membatu”.
Kue merupakan pijakan pertama. Selanjutnya dia belajar memasak menu lain. Menu-menu itu dia berikan tester ke teman-temannya. Dan mereka cocok dengan masakan Cie Siang, sehingga dia pun kebanjiran order menu masakan. Setelah itu, meski belum memiliki restoran sendiri, Cie Siang mengibarkan label “Warung Philadelphia” untuk usaha kulinernya ini.
Saat di Jawa Timur ramai menu ayam geprek, Cie Siang pun tak mau ketinggalan. Dia berburu resep ke keluarga dan teman-temannya di Jawa Timur. Selanjutnya, dia pun “menggeprek” Philadelphia dengan ayam geprek.
“Saya lihat beberapa teman posting ayam geprek di Indonesia lagi booming. Saya pikir, ahhh ini ayam kan banyak di USA tinggal dikasih sambel jadi saja. Mau beli yang sudah jadi or frozen banyak di supermarket. Pertama saya tidak tertarik sama sekali, lalu teman saya nyuruh saya jual ayam geprek. Saya masih gak tertarik. Emang laku kalau dijual di sini? Pikir saya begitu,” katanya.
Tapi dia teringat lagi nasihat neneknya sesaat sebelum pergi ke Amerika agar mencoba setiap peluang. Termasuk peluang dari sebuah resep. Maka, dia pun mencoba membuat ayam geprek. Setelah jadi dia memposting menu baru itu di FB. Dan hasilnya….? Wow ternyata banyak yang penasaran. Banyak warga Indonesia dan bule menanyakan ayam geprek produksi Warung Philadelphia lewat telepon, SMS, maupun inbox messenger.
“Ternyata banyak yang kepengen tahu. Ya akhirnya saya coba jual juga hehehe. Ternyata banyak feedback yang bagus dari teman-teman, dan mereka mau order lagi,” jelasnya.
Selama ini Cie Siang baru berjualan di rumah. Bukan membuka secara khusus sebuah restoran sebab biayanya mahal. Namun dia tetap bercita-cita suatu saat nanti pasti memiliki restoran yang akan menjadi jujukan warga Indonesia di Amerika maupun para bule dalam berkuliner ria.
“Saya sangat ingin buka restaurant , tapi anak-anak saya masih kecil. Mereka masih butuh mamanya. Anak saya umur 6 tahun, 8 tahun, dan 14 tahun. Semua lahir di USA. Kemarin aja, teman saya yang punya restaurant posting, kalau anaknya yang umur 5 tahun mau ngasih uangnya yang ada di piggy bank untuk mamanya agar mamanya gak kerja. Tapi saya percaya suatu saat nanti pasti saya punya restaurant sendiri. Sekarang berjualan di rumah saja,” katanya.
Saat ini banyak WNI di Amerika. Kiat-kiat untuk bisa bertahan bahkan sukses di negeri orang harus pandai memanfaatkan peluang, menggunakan waktu sebaik mungkin alias tidak malas, dan jangan lupa ibadah serta rutin berdoa.
“Juga berteman dengan semua orang dan berbuat baik tanpa meminta imbalan. Karena untuk memperkenalkan masakan saya, saya kasih tester ke beberapa teman dan saya masak buat gereja. Dari sana mereka cocok, akhirnya mereka pesan bila membutuhkan menu makanan,” katanya.
Begitulah hidup di AS. Sungguh dia tak menyangka sebab awalnya hanya ingin menyusul calon suami alias tunangannya yang lebih dulu merantau ke AS. Tapi ternyata yang disusul sudah punya pacar lagi.
“Saya ketemu suami saya di gereja. Hal yang lucu, di USA kan kita kerjain sendiri , tidak ada pembantu . Pada saat anak pertama lahir, di mana tidak ada orang tua, hanya saya dan suami, sementara suami setiap hari kerja dari pagi jam 5 sampai jam 5 sore. Waktu ada appointment dokter buat anak saya, saya siapin semuanya dari susu, pampers, anak dipakaiin jaket semuanya sudah siap. Lalu saya mengeluarkan kereta baby dan berjalan keluar dengan baby saya, saya merasa kok kaki saya dingin ya? Oalah ternyata saya hanya pakai celana pendek, padahal waktu itu musim winter. Musim salju. Terlalu sibuk mengurus anak sampai lupa ganti baju hehehe,” katanya.
Semua itu membuat Cie Siang menjadi mandiri. “Kuncinya mandiri. Soal kendala bahasa, pokoknya kita harus berani ngomong. Kalau mereka bicara dan kita gak ngerti, kita bisa kasih tahu, maaf, saya bahasa Inggrisnya kurang, bisa gak kamu bicara pelan-pelan. Dan mereka ngerti kok. Kita bonek aja,” katanya. *