Pembunuhan keji yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya mendapat kecaman masyarakat dunia. Demo dimana – mana terjadi. Di Jakarta, Rabu (6/9/2017) kemarin, massa aksi solidaritas Rohingya mulai memenuhi depan Kedubes Myanmar, Menteng, Jakarta Pusat. Massa tersebut tergabung dari Front Pembela Islam dan Gerakan Pekerja Muslim Indonesia.
Mmassa mulai masuk pada pukul 11.40 WIB, Rabu (6/9/2017).Massa masuk melalui Jalan Imam Bonjol menuju Jalan Agus Salim.Mereka membawa spanduk bertuliskan ‘Aksi Solidaritas Kemanusiaan Buruh Indonesia’.Aksi Solidaritas Rohingya di depan Kedubes Myanmar.Aksi Solidaritas Rohingya di depan Kedubes Myanmar. “Pemerintah Indonesia harus memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Myanmar,” kata orator di atas mobil komando di depan Kedubes Myanmar.
Ya kita harus memberikan solidaritas pada saudara-saudara kita di Myanmar yang saat ini dikabarkan ribuan terbunuh.Tak hanya orang dewasa, tetapi anak-anak pun juga dibunuh secara keji oleh militer Myanmar.Dunia mengutuknya. Bahkan, Presiden Turki, Tayyip Erdogan, terus bersuara lantang terkait nasib etnis Rohingya. Terbaru, Erdogan menyebut kematian ratusan orang Rohingya di Myanmar sebagai genosida yang ditujukan untuk komunitas Muslim di wilayah tersebut.
Hampir 400 orang tewas dalam pertempuran yang telah mengguncang barat laut Myanmar selama seminggu terakhir. Jumlah itu adalah data resmi terbaru.Peristiwa ini mungkin merupakan tindak kekerasan paling mematikan yang menelan korban minoritas Muslim Rohingya di negara tersebut dalam beberapa dasawarsa.
Tentara Myanmar sendiri mengaku sedang melakukan operasi pembersihan terhadap teroris ekstremis untuk melindungi warga sipil. Tapi apa jawab Erdogan? “Ada genosida di sana.Mereka tetap diam terhadap ini.Semua orang yang berpaling dari genosida yang dilakukan di bawah tabir demokrasi juga merupakan bagian dari pembantaian ini,” kata Erdogan.
Apa yang dikatakan Erdogan memang benar adanya. Dimana Suu Kyi sekarang.Apa karena sudah duduk di kursi empuk, lalu dia tidak bersuara? Paradoks, mungkin itulah kata yang tepat menggambarkan `kebisuan’ Aung San Suu Kyi, sang ikon demokrasi dari Myanmar terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di negaranya sendiri. Suu Kyi yang meraih Nobel Perdamaian tahun 1991 ini telah dianggap sebagai simbol internasional perlawanan damai masyarakat Myanmar terhadap penindasan yang dilakukan oleh junta militer.
Dunia tentu berharap, pembebasan Suu Kyi dari tahanan rumahnya pada 2010 dan kemenangannya dalam pemilu sela pada April 2012 bisa membawa harapan baru bagi Myanmar. Sayangnya, sikap diam dan cenderung tidak peduli yang dilakukan oleh Suu Kyi dalam kasus pembantaian etnis Muslim Rohingya di Myanmar telah membuat dunia internasional, khususnya para pegiat HAM yang selama ini mengelu-elukannya dan masyarakat di negara-negara muslim kecewa.(*)