Global-News.co.id
Na Rona

Mat Tadji Bereuni Ria Ngakak “Ritsleting Dibuka”

Minggu (20/8/2017), Mat Tadji mendapat undangan untuk menghadiri reuni SMP, tempat dimana dia bersekolah. Meski sibuknya setengah mati, untuk yang ini Mat Tadji mengharuskan dirinya untuk hadir. Satu alasan yang tak bisa ditawar, yakni kerrong ka cakancanah (kangen pada teman-temannya, Madura, Red) sewaktu di SMP 2 Pamekasan Angkatan 1979.

“Hallo Nyok. Dhek remmah kaberreh Nyok,” Mat Tadji memeluk Syarif Al-Jakfar, sahabat karibnya sejak SMP hingga SMA, setelah memasuki halaman sekolah SMP 2, tempat dimana reuni diadakan. Saking akrapnya keduanya sama-sama memanggil Nyok untuk memanggil nama masing-masing.
“Alhamdulillah. Yang penting sehat Nyok,” sahut Jakfar sambil menarik tangan Mat Tadji untuk duduk berdekatan. Keduanya bercandon ria. Meluapkan rasa kangennya.
“Bhakto SMP eolok Nyok so Jakfar. Bhakto SMA, eolok Mat Tadji so Yusuf Chandra (Waktu SMP namanya dipanggil Nyok. Waktu SMA dipanggil Mat Tadji sama teman akrapnya Yusuf Chandra, Madura, Red). Pola polanah tang kolek celleng, dheddih namanya harus Madura Banget. Celakak mon dek iyyeh (mungkin karena kulitku hitam, sehingga panggilanku Madura banget),” guman Mat Tadji.
Sementara di atas panggung, music electone terus memainkan lagu-lagu yang umumnya lagu Madura. Olle Ollang Paraonah Alajereh dengan music khas Madura yang dibawakan teman-temannya, membuat Mat Tadji semakin khidmat menikmatinya. Lagu yang mengidentikkan dirinya sebagai Putera Madura. “Aboh… kanak suaranya mak acar kalacer. Apapun suaranya, saya menikmati ini. Ada rindu di balik lagu. Madura…oh… Madura. Akulah ‘puteramu’ yang kini di rantau,” hati kecil Mat Tadji semakin bergetar, medengar baik…Alajerreh ka Madureh…
“Uwak Marbuah (nama samara), lambek se langsing, sateya padheh so bul. Uwak pole Maimunah (nama samara) sateya padheh palembungan. Cakancah makmur kabbi Nyok (Itu Marbuah dulu langsing, sekarang seperti bak tempat air. Itu juga Maimunah, kini seperti balon yang ditiup. Teman-teman makmur semua sekarang (Madura, Red),” kata Jakfar sambil terkekeh, sampek batuk.
“Tapeh Nyok, ada dua bintang yang sampai sekarang masih bersinar dari dulu sampai sekarang. Kecantikannya tak luntur. Hayo sapah hayo…,” kata Mat Tadji.
“Ya benar kau. Yurida dan Lelyani masih cantik ya, meski umurnya sudah 54 tahun. Asyirut kanak. Angak hooo,” kata Jakfar
Sementara itu, di atas panggung musik dangdut dengan penyanyi para alumni semakin menambah kita semua tidak “mau pulang”. Kerrong terros tak mareh-mareh. Di atas panggung pula, para alumni memberikan tali asih kepada mantan guru mereka waktu dulu. Juga demikian dengan kepala sekolah SMP 2 Pamekasan bapak Mustakim yang menerima juga tali asih dari alumni.
“He… tak kerrong ka Es Sudimampir,” kata Jakfar
Lalu mereka ke bangku yang menyediakan minuman tersebut. Waktu SMP, Mat Tadji memang pernah ke Sudimampir yang menyediakan es santan yang dimakan dengan roti tawar. Es Sudimampir tempat favorit untuk kuliner zaman dulu.
“Maknyus,” kata Mat Tadji yang sebelumnya melahap krepek tette dan krepek tangguk.
Hanya saja, Mat Tadji menjadi keselek setelah ada suara Suharno (nama samaran) yang berteriak, “Kalau di kelas ku yang paling nakal adalah Zinal,” katanya.
“Nal ke sini kau. Kau masih ingat gak sewaktu membuka retsleting-nya di kelas,” kata Suharno berteriak sambil ketawa terbahak bahak.
Mendengar retsleting Anik dibuka, Mat Tadji yang sedang menikmati yahudnya Es Sudimampir langsung keselek. Nakalnya si anak ini sampai membuka retsleting? Benarkah itu? “Benar…Ayo Nal kamu minta maaf sekarang ke Anik,” kata Suharno lagi.
Sementara Zinal hanya mesem-mesem saja Suharno “mengulang” masa jadulnya itu. Yang jelas Zinal Membuka Retsleting Anik, menjadi bahan tertawaan anak-naka yang duduk di sebelah selatan. Tak ada dendam. Tak ada yang mangkel. Itu nostalgia masa SMP. Masa-masa culun yang kadang menjadi bahan tertawaan. Meski begitu, “bintang” yang dulu masa SMP masih menjadi sorotan sejumlah teman.
Sejumlah teman menggojloki pasangan kekasih zaman SMP. “Kau waktu SMP, naksir siapa. Di sini ada yang kau taksir dulu,” kata Jakfar
“Ahhh kalau ingin hati ada yang ditaksir. Hanya saja, waktu itu aku kan kelas teri. Tak paradduh (tidak direken, Madura Red). Ya hanya menelan ludah saja Nyok. Sengkok tak masok rekenan Nyok,” kata Mat Tadji terbahak-bahak.
“Tak apa yang penting waktu itu ada rasa. Kita-kita reyah lambak hanya ngampet. Uwak Har. Keliatannya dulu kamu mendekatinya,” kata Jakfar berbisik pelan.
“Ahhh, tidak. Terro ya terro, tapeh kan harus mengukur diri. Mareh egelunyok eber so sengkok lambek,” kata Mat Tadji terbahak-bahak.
Tak terasa jam telah menunjukkan sekitar pukul 11.47 waktu itu. Acara yang dimulai sejak pukul 08.00 banyak yang membekas bagi Mat Tadji. Apalagi kalau tidak berkumpul dengan temannya. Bahkan ada yang lupa siapa nama temannya. Meskipun panitia menempelkan nama peserta reuni di kaos masing-masing, tetapi Mat Tadji tidak semuanya ingat. Maklum ada yang berpisah hingga 38 tahun. Waktu yang tak sedikit.
Sekitar pukul 11.56, Mat Tadji pamit kepada ketua panitia reuni. “Sengkok molea jal. Sengkok nyongngokah ebuh,” kata Mat Tadji.
Mat Tadji meluncur ke rumah ibunya dengan perasaan senang bertemu dengan kawan-kawannya. Setelah sungkem pada ibunya dan bertemu saudara-saudaranya Mat Tadji pulang ke Surabaya. “Hahhh ini sampai dimana ini,” kata Mat Tadji kepada adiknya yang mengambil kemudi.
“Ini sudah Torjun. Kakak tadi ngorok. Pulas tidurnya,” kata sang adik sambil memacu mobilnya, karena Mat Tadji harus menyelesaikan tugas-tugasnya di kantor.(*)

baca juga :

Aduh Pak, Sang Binih Meller

Redaksi Global News

‘Air Mata Kalimah’

Redaksi Global News

Kyiv atau Kiev: Ejaan Ibukota Ukraina, Mana yang Benar?