Global-News.co.id
Indeks Nasional Utama

Kelangkaan Meluas, Harga Melangit dan Industri Berbahan Garam pun Kolaps

GN/Istimewa
Harga garam melambung tinggi sehingga mengakibatkan perusahaan berbasis garam pun mulai satu per satu mengalami kolaps

SURABAYA (global-news.co.id)- Kelangkaan garam meluas hampir terjadi di Provinsi Jawa Timur,  Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.  Saat ini stok garam di sejumlah kota di Jatim sangat menipis, seperti di Blitar, Sidoarjo, Mojokerto,  Surabaya, Tuban, Pasuruan, dan daerah lain. Begitu juga di daerah-daerah di Jateng dan Jabar. Bila masih ada garam, harganya naik 100%. Ini menjadi ironis sebab Indonesia dikenal memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Bahkan Jatim memiliki Pulau Garam yakni Madura.

Saat ini harga garam dapur di Mojokerto meningkat 100% dari harga biasanya Rp 1.000/bungkus menjadi Rp 2.000/bungkus, dan harga biasanya Rp 2.500/bungkus menjadi Rp 5.000/bungkus.  “Pemerintah harus turun tangan. Garam sangat dibutuhkan masyarakat untuk hidup sehat. Pemerintah berhasil mengendalikan harga beras, minyak, daging serta telur,  masak tidak bisa kendalikan pasokan dan harga garam,” kata Suwito pedagang garam di Pasar Mojosari, Kab. Mojokerto, Rabu 26 Juli 2017.

Menurut dia, sudah lebih dari 25 tahun dia jual  garam dapur tapi baru tahun 2017 ini harga garam melonjak dan stoknya menipis. Sebelum terjadi kelangkaan, di gudangnya selalu memiliki stok garam minimal 100 kilogram setiap tiga pekan. Namun, sudah sebulan ini di gudangnya tidak ada stok garam sama sekali. “Hanya ada di toko sekitar 20 kg saja. Jika dua hari lagi tidak dapat pasokan, ya habis,”katanya.

Khotimah pedagang garam di Pasar Tanjung Anyar Kota Mojokerto mengatakan terjadinya kelangkaan garam membuat harga jual garam semakin mahal.  Garam dalam kemasan kecil sebelumnya harga jualnya Rp 1.000/bungkus kini menjadi Rp 2.000/bungkus. Garam harganya Rp 2.500 kini menjadi Rp 5.000/bungkus.

Parman salah seorang pemasok garam dari Surabaya mengatakan, dia dua pekan ini hanya mendapatkan kiriman garam 0,5 ton dari produsennya. Padahal biasanya dalam sepekan bapak tiga anak ini mendapatkan jatah garam dari mitra kerjanya minimal 10 ton.

“Ini hanya untuk pedagang langganan saya yang dinilai baik dalam pembayarannya. Itupun mereka hanya mendapatkan kiriman dari saya setiap pedagang 10 kg saja,”katanya.

Di Jawa Tengah dan DIY,  di kawasan pesisir sentra produksi garam juga terjadi kelangkaan. Bak ayam mati di lumbung padi, semua daerah di Jawa Tengah dan DIY garam langka. Kalau ada harganya menjadi gila-gilaan. Bahkan banyak pedagang mengaku kehabisan stok karena tidak ada kiriman.

Kelangkaan terjadi di semua jenis garam. Garam dapur, garam halus, hingga garam kasar atau garam grosok. Semua harganya naik tinggi. Bahkan garam jenis grosok yang paling dirasakan kelangkaannya.  Solo dan Magelang misalnya, gudang-gudang pedagang kosong.

Kondisi ini membuat galau pedagang makanan. Garam sulit didapat, padahal tidak mungkin jualan makanan tanpa garam.  “Sejak puluhan tahun hidup saya, baru kali ini kenaikan harga (garam) cukup tinggi,” ungkap Sulastri, pedagang di Pasar Argosari, Gunungkidul.  “Stoknya cuma ini, di gudang sudah habis,” kata Wardoyo, pedagang di Pasar Legi, Solo, Selasa (25/7/2017).

Sektor riil pun terpukul. Usaha-usaha rakyat yang menggunakan garam untuk pembuatan produk, langsung terimbas  karenanya.  Sutrisno penjual bakso di Kota Mojokerto mendesak pemerintah menormalkan stok garam. Karena garam sangat dibutuhkan warga, utamanya penjual bakso seperti dirinya.

“Kalau garam di pasar rakyat tidak ada saya terpaksa beli garam di swalayan yang harganya mahal. Ini jelas mengurangi keuntungan yang saya dapat,”katanya.

Kadisperidag Kab. Mojokerto Bambang Purwanto mengatakan pihaknya sedang menurunkan tim pulbaket untuk mengetahui kondisi garam di pasaran. Jika nanti ada kelangkaan maka petugas akan mengambil langkah mengatasi kelangkaan itu bersama Pemprov Jatim dan pemerintah pusat agar tata niaga garam  kembali normal.

 

Pabrik Kulit Tutup

 

Ratusan pabrik penyamak kulit di Jawa Timur juga terancam tutup.  Salah satu pemilik pabrik penyamak kulit di Desa Nogosari, Kecamatan Rowokangkung, Lumajang, Toriq, mengaku sangat merasakan dampak dari kelangkaan garam dan harganya yang melambung tinggi.

“Awalnya, harga garam naik sejak bulan Januari lalu, namun puncaknya sejak dua bulan terakhir. Dulu, harga garam paling tinggi Rp 900 rupiah per kilogramnya, namun kini harga garam tembus Rp 50 ribu dan ini pun barangnya sangat langka,” tuturnya, kemarin.

Pria yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pabrik Penyamak Kulit Jawa Timur ini menjelaskan, garam sangat penting dalam penyamakan kulit hewan, mulai dari pengawetan kulit hewan yang baru habis dipotong maupun proses penyamakannya.

“Garam sebagai bahan pengawet kulit untuk mencegah bakteri pembusukan masuk ke kulit. Jika pemakaian garam dikurangi, maka akan mengurangi kualitas penyamakan kulit tersebut,” katanya.

Dia menegaskan, kondisi stok garam di pabrik Nogosari hanya tinggal enam kuintal dan hanya cukup digunakan sampai minggu ini. “Jika pasokan garam belum kunjung datang, maka pabrik ini terancam berhenti produksi,” ucapnya.

Menurutnya, di Jawa Timur terdapat ratusan pabrik kulit. Pabrik kulit dalam skala besar ada 20, sedangkan skala kecil ada 200 lebih. Pabrik tersebut semuanya membutuhkan pasokan garam.   “Kami meminta kepada pemerintah untuk kembali menormalkan pasokan garam untuk menjaga keberlangsungan usaha penyamak kulit yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja,” ujar Toriq.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan, hampir seluruh perusahaan yang memproduksi garam beryodium untuk konsumsi rumah tangga kolaps akibat kesulitan mendapatkan bahan baku.

“Akibat tidak ada stok garam sekarang khusus perusahaan yang bergerak bidang garam produksi kolaps. Efeknya akan terjadi PHK di mana-mana. Karyawan produsen garam konsumsi akan dirumahkan karena sudah stop produksi. Puluhan ribu orang yang bergantung terhadap produsen garam akan menganggur,” ujar dia di Bandung, kemarin.

Saat ini, lanjut Cucu, stok garam dalam negeri menipis. Tingginya kebutuhan belum bisa diimbangi oleh produksi dalam negeri yang baru bisa mencapai 1,8 juta ton per tahun. Sementara total kebutuhan garam baik untuk konsumsi dan industri mencapai 4,3 juta ton per tahun.

Cucu berharap, pemerintah berlaku bijak dengan cara sesegera mungkin membuka keran impor garam demi untuk memenuhi kebutuhan garam baik untuk konsumsi maupun untuk industri.  “Kalau pemerintah tidak segera mengambil diskresi akan terjadi chaos. Masa pemerintah mengurusi garam saja enggak mampu. Impor ini adalah keterpaksaan,” ujarnya.

Ia menyebut, ketiadaan garam di pasaran bisa mengancam kesehatan warga Indonesia. “Apabila kondisi ini dibiarkan akan menyebabkan gagalnya program kesehatan yang dicanangkan pemerintah yakni Universal Salt Iodization (USI). Salah satu program gizi yang menambahkan zat gizi yodium dalam garam (yodisasi) secara massal baik garam untuk konsumsi untuk manusia maupun hewan,” kata Cucu.

Cucu menyebutkan, garam beryodium merupakan kebutuhan primer yang tidak dapat tergantikan terutama untuk manusia. Menurut penelitian, setiap satu orang perlu memenuhi kebutuhan konsumsi garam beryodium sebanyak 3 kilogram per tahun.  “Kita semua tahu kalau kekurangan yodium akan menyebabkan kerdil, IQ rendah, gondok, dan tingkat keguguran hamil semakin tinggi,” ucapnya.

 

PHK Karyawan

 

Sementara itu, Ali Wafa, Direktur PT Budiono Madura Bangun Persada menyebutkan,  sudah dua bulan perusahaannya tidak berproduksi akibat tidak tersedianya bahan baku di seluruh sentra penghasil garam nasional seperti Jeneponto dan Pangkep (Sulawesi Selatan), Madura (Jawa Timur) dan Bima Nusa Tenggara Barat (NTB).  Menurut dia, petani garam tidak bisa panen karena hujan yang masih terjadi meski seharusnya sudah memasuki musim kemarau.

“Kalau Agusutus 2017 ini hujan masih terjadi, maka bisa dipastikan tahun ini akan kembali gagal panen. Kalau pun tidak hujan maksimal bisa panen hanya 40 persen,” ujar Ali.  Akibat berhenti berproduksi, setelah lebaran kemarin Ali mau tidak mau terpaksa harus merumahkan 400 karyawannya.

Selama ini garam yang diolahnya 60 persen untuk kepentingan konsumsi untuk memenuhi pasar Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan, sisanya untuk kepentingan industri pengasinan ikan.  “Bisa dibayangkan rumitnya situasi saat memasuki Idul Adha untuk kepentingan pengasinan kulit hewan kurban,” katanya.

Hal serupa disampaikan pengusaha garam lain, Subhan, yang merupakan Direktur CV Keluarga Gresik. Menurut dia, Januari 2017 menjadi kesempatan terakhir baginya untuk melakukan produksi. Hingga kini, perusahaan yang dipimpinnya yang mempekerjakan 25 karyawan terpaksa harus dirumahkan dengan alasan yang sama akibat tiadanya bahan baku garam.

Dia menyebutkan, penghentian produksi juga dialami IKM garam asal Gresik lain. Selama 22 tahun dirinya menggeluti bisnis pengolahan garam konsumsi baru kali ini mengalami krisis bahan baku akibat gagal panen sehingga petani tidak bisa menjual.  “Pada 1997 dan 2010 pernah terjadi kemarau pendek tapi tidak dampaknya tidak separah sekarang ini karena pemerintah langsung mengatasi dengan impor,” ujarnya.

Produsen ikan asin di Jepara juga lesu karena kesulitan bahan baku. Produsen ikan asing di Rembang langsung menurunkan jumlah produksi. Kesulitan mencari garam, jelas menyulitkan mereka. Di Pekalongan, bahkan sebagian besar produsen ikan asin menghentikan sementara produksinya.

Usaha rakyat pembuatan telur asin di Brebes juga tak kalah terpukulnya. Mereka kesulitan mencari garam grosok. Akhirnya mereka mendaur ulang adonan pengasin. Jika biasanya adonan dipakai dua kali, kini dipakai 4 kali untuk mengasini telur itik.

Di Boyolali, warga peternak sapi perah tak kalah paniknya. Garam grosok biasanya mereka pakai untuk untuk campuran ngombor atau memberi minum sapi-sapi ternak. Kini bukan hanya mahal, barangnya pun sulit didapat.

Ini bukan persoalan remeh, tapi justru aneh. Negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia mengalami krisis garam di mana-mana. Alasan bahwa tahun ini merupakan kemarau basah sehingga mengakibatkan banyak petani garam gagal panen, bukan alasan yang tepat juga.

Toh pada tahun 2016 lalu, Indonesia pernah mengalami kemarau yang ‘jauh lebih basah’. Hampir sepanjang tahun turun hujan, namun tidak diikuti keluhan kelangkaan garam di mana-mana.

Namun Wakil Bupati Tuban, Noor Nahar Hussein,  Rabu (26/7/2017), menilai  harga garam tinggi seperti sekarang ini menguntungkan petani garam.  “Biarlah dinikmati petani garam sejenak, sebab kalau harga rendah kan petani garam menderita, kasihan gak bisa ke mana-mana,” ucap Wabup asal Kecamatan Rengel tersebut.

Namun, menurutnya, ada yang perlu diantisipasi yakni jangan sampai di pasaran banyak garam impor, sehingga perlu dihitung dulu antara kebutuhan dan suplainya.  “Kalau harganya terlalu jauh saya kira tidak perlu impor, karena petani garam kita sudah banyak,” imbuh Wabup.

Menurutnya, harga bagus seperti ini jarang dinikmati para petani garam di wilayah Kabupaten Tuban mulai dari Kecamatan Palang, Jenu, Tambakboyo, Bancar dan Tuban Kota.  Saat ini, harga garam yang semula hanya Rp 250 per kilogram dari petani garam, kini di pasaran mencapai Rp 3000 per kilogram. Bahkan, ada yang mencapai Rp 5000 per kilogramnya. * bas/hud/l6

 

 

 

baca juga :

Pemprov Jatim Mulai Cairkan Bansos untuk Warga Terdampak COVID-19

Pertamina Ajak Masyarakat di Wilayah Jatimbalinus untuk Daftarkan Kendaraannya

Komisi C DPRD Dorong Pemkot Surabaya Tingkatkan Belanja Modal Anggaran 2023