JAKARTA (global-news.co.id) Pemerintah Indonesia mulai ketar-ketir dengan rencana Uni Eropa memberlakukan proteksi perdagangan (trade remedy) di awal tahun ini. Hal tersebut menguat usai tutup tahun 2016, dimana Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisasi kebijakan trade remedy di kawasan Eropa.
Uni Eropa sendiri merupakan mitra dagang terbesar ke-4 bagi Indonesia dengan produk ekspor utama antara lain mencakup produk-produk pertanian dan perikanan, furnitur, komponen mesin, tekstil, dan alas kaki, serta produk plastik dan karet. Sementara bagi Uni Eropa, Indonesia adalah mitra dagang dari Asia Tenggara terbesar ke-5 namun berada di peringkat ke-30 dalam urutan mitra dagang Uni Eropa secara global.
Ekspor utama Uni Eropa ke Indonesia antara lain terfokus pada mesin, peralatan transportasi, dan produk kimia selain jasa. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa (2016) mencapai US$ 14,41 miliar dan impor dari Uni Eropa US$ 10,65 miliar menjadikan Indonesia mendapat surplus sebesar US$ 3,76 milliar.
Dody Edward, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) berpendapat, modernisasi ini bisa mengancam ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisasi kebijakan trade remedy tersebut pada 13 Desember 2016 setelah diusulkan Komisi Uni Eropa sejak 2013. Proposal itu dilatarbelakangi makin tingginya serbuan produk-produk murah asal China, seperti produk baja.
Akibatnya industri domestik Uni Eropa kalah bersaing dan gulung tikar.Uni Eropa juga secara khusus mengacu kepada Amerika Serikat (AS) yang telah menerapkan praktik serupa dalam aturannya.Dengan kebijakan tersebut maka Pemerintah Indonesia meyakini Uni Eropa akan menghambat laju impor ke semua negara Uni Eropa Eropa melalui tindakan anti-dumping dan antisubsidi.“Kami mewaspadai hasil persetujuan parlemen Eropa.Penerapan modernisasi trade remedy ini bisa menghambat laju ekspor Indonesia ke Uni Eropa,” tegas Dody.
Ia mencatat, beberapa kebijakan yang akan diterapkan oleh Komisi Uni Eropa antara lain menghapus aturan lesser duty. Uni Eropa secara konsisten menerapkan prinsip lesser duty sehingga membuat Uni Eropa berbeda secara signifikan dengan AS.Aturan lesser duty memungkinkan pengenaan tingkat bea masuk anti-dumping dengan besaran (level) yang lebih kecil dari margin dumping yang ada, sepanjang besaran tersebut dianggap proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.
Distorsi Harga
Aturan lesser duty dihilangkan terutama untuk menghadang impor dari negara yang dianggap memiliki particular market situation yang mendistorsi harga bahan baku. Dody menilai negara-negara berkembang perlu berhati-hati dan mengantisipasi seandainya Indonesia dianggap memiliki particular market situation.
“Kepada negara-negara dengan kondisi tersebut, Uni Eropa akan menerapkan metode baru dalam menghitung besaran dumping,” ujar Dody.
Otoritas Uni Eropa, lanjut Dody, akan menolak menggunakan harga atau biaya produksi yang berlaku di negara tersebut, serta memilih menggunakan harga referensi di negara lain yang dianggap tidak terdistorsi sebagai pembanding dalam menentukan besaran dumping.“Hal ini akan mempermudah Uni Eropa atau AS menggunakan data dari negara ketiga untuk menetapkan besaran dumping yang menyebabkan menggelembungnya margin dumping,” lanjut Dody.
Kondisi particular market situation di suatu negara diindikasikan dengan peran dominan Pemerintah/BUMN dalam pengadaan barang dan jasa, pengendalian harga, pemberian jenis subsidi yang dilarang, kebijakan harga berganda (dual pricing), dan pajak ekspor.“Otoritas Uni Eropa dikhawatirkan akan menilai kondisi suatu pasar di suatu negara secara tidak objektif,” ujar Dody.
Dody mengimbau agar eksportir Indonesia tetap optimis dan berharap proposal tersebut tidak jadi diberlakukan. “Kemendag akan menyosialisasikan rencana tersebut kepada eksportir Indonesia tujuan Uni Eropa dan bersama-sama dengan stakeholders guna melakukan advokasi secara optimal kepada para eksportir Indonesia yang terkena tuduhan trade remedy,” tambahnya.
Sama Seperti AS
Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak ingin rencana Uni Eropa memberlakukan proteksi perdagangan (trade remedy) akibat serbuan produk impor asal China dan negara-negara berkembang, menimbulkan masalah yang sama dengan yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat (AS).
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati mengungkapkan bahwa produk unggulan Indonesia sebenarnya telah dirugikan oleh aturan serupa yang lebih dahulu berlaku di AS, salah satunya adalah produk kertas.
Menurut Pradnyawati, AS menganggap Pemerintah Indonesia memberikan subsidi melalui kebijakan kehutanan dan larangan ekspor kayu bulat (log) yang berkontribusi menekan harga kayu sebagai bahan baku kertas. “Hal ini membuat otoritas AS menentukan besaran dumping menggunakan harga kayu di negara lain sebagai pembanding yang notabene harganya jauh lebih tinggi,” ungkap Pradnyawati.
Jika Uni Eropa menerapkan hal serupa, lanjut Pradnyawati, maka tuduhan antidumping dan antisubsidi terhadap produk unggulan Indonesia akan semakin gencar karena baik Uni Eropa maupun AS merupakan pengguna aktif instrumen trade remedy.“Proposal kebijakan tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh stakeholder mengingat Uni Eropa merupakan pasar strategis bagi produk ekspor Indonesia, seperti produk agro (kelapa sawit dan turunannya), produk perikanan, serta produk hasil kehutanan seperti pulp dan kertas,” jelas Pradnyawati.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Haryo Aswicahyono mengatakan, salah satu jalan yang paling efektif untuk meminimalkan dampak proteksionisme adalah dengan memperbanyak kerja sama bilateral dengan berbagai negara. Dengan demikian, Indonesia tidak akan kehilangan pangsa pasar ekspornya.”Tetapi pemerintah perlu meningkatkan kemampuan atau skill negosiasi, menganalisis dampak, agar negosiasi bilateral ini menghasilkan sebesar-besarnya bagi Indonesia,” ujar Haryo.
Meskipun demikian, Haryo mengingatkan agar kenaikan harga komoditas yang terjadi ini harus disikapi secara matang.Dalam jangka panjang, untung-rugi ekspor, terutama bahan mentah harus diperhitungkan.”Pendapatan hasil ekspornya pun harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau menjadi tabungan negara,” ujarnya.
Tumbuh Lamban
Sementara itu Center for Strategic and International Studies (CSIS) memprediksi pertumbuhan ekspor nasional tahun ini hanya mencapai 3,2 persen. Perkiraan ini memperhitungkan masih lemahnya permintaan sejumlah negara tujuan ekspor akibat perlambatan ekonomi, dan proteksi pasar Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Kepala Departemen Penelitian Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri mengungkapkan, target pertumbuhan ekspor itu pun bisa terealisasi dengan catatan tidak ada kebijakan dari negara-negara lain yang bersifat protektif, seperti yang dilakukan oleh AS dan Inggris.
“Tahun ini, Indonesia bisa meningkatkan ekspor 3,2persen, walaupun ini di bawah dari apa yang bisa dilakukan. Seharusnya, ekspor Indonesia bisa mencapai 4-5 persen, jika tidak memasukkan perubahan kebijakan protektif.Namun, sulit untuk diproyeksikan,” ujar Yose.
Sebetulnya, ia mengatakan, masih ada potensi pemulihan ekonomi negara-negara besar yang dikenal sebagai mitra dagang Indonesia, yaitu China, AS, dan Uni Eropa. Pemulihan tersebut diyakini bisa mendongkrak permintaan barang dan jasa dari Indonesia.
Pemulihan tersebut menjadi lain cerita apabila kondisi geopolitik mengharuskan sejumlah negara mengeluarkan kebijakan yang lebih protektif terhadap pasar mereka, sehingga mampu mengurangi kerja samanya.”Kemungkinan besar negara-negara, seperti AS, yang menjadi tujuan utama kita itu akan melakukan proteksi.Padahal, kita memperkirakan kalau kondisinya menjadi lebih baik, proteksinya meningkat, kita mungkin bisa meningkatkan beberapa persen ekspor kita ke AS,” terang dia.
Di tengah pelemahan ekonomi negara-negara maju, pemerintah tengah berupaya untuk mencari negara tujuan dagang baru. Hanya saja, Yose mengingatkan pemerintah untuk tetap menjaga pangsa pasar di negara-negara yang selama ini menjadi mitra dagang Indonesia.
Pasalnya, sumber pertumbuhan ekonomi saat ini masih berasal dari negara-negara maju, seperti AS, Eropa dan China. “Jadi, boleh cari pasar baru, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana pangsa pasar di negara-negara tersebut itu tidak berkurang,” katanya.
Indonesia, lanjut Yose, harusnya bisa lebih meningkatkan lagi volume ekspor ke negara-negara lama.Soalnya, saat ini, transaksi ekspor ke beberapa negara tujuan justru mengalami penurunan baik dari segi volume maupun nilai.”Contohnya adalah AS.Itu adalah destinasi terbesar kita. Dulu itu ekspor kita ke AS sekitar 1,1-1,2 persen dari seluruh impor AS. Sekarang, hanya 0,8-0,9 persen. Artinya, ada penurunan kan, ini yang lebih penting dibandingkan cari-cari pasar baru dan belum tentu pasar baru itu bisa menjanjikan,” pungkasnya.
Ulah Mesir
Selain kasus Eropa, tantangan menaikkan angka ekspor nonmigas juga datang dari Mesir,dimana pemerintah Mesir mulai 1 Desember 2016 menaikkan bea masuk barang impor hingga 6 kali lipat. Pemerintah mengancam akan membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization / WTO).
Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan akan terus memantau perkembangan terbaru peraturan ini dengan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Mesir dan Atase Perdagangan Mesir.“Apabila ke depan peraturan ini berpeluang menjadi hambatan, kami bersama pihak yang menangani hambatan tarif akan melakukan pembelaan dalam kerangka WTO,” kata Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati.
Kenaikan bea masuk ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 538 Tahun 2016. “Peraturan ini dapat menghadang ekspor nasional ke negeri piramida itu karena harga produk akan semakin tinggi,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dody Edward.
Kenaikan bea masuk tersebut berlaku untuk 320 komoditas impor nonmigas yang dikelompokkan dalam dua tipe, yaitu komoditas impor yang memiliki alternatif lokal (barang sejenis di dalam negeri) dan barang konsumsi yang dapat langsung dijual ke konsumen.
Adapun produk ekspor nonmigas utama Indonesia yang masuk ke dalam daftar komoditas yang dinaikkan bea masuknya antara lain sabun, jus nanas, lemari es dan kertas tissue.
Dody menjelaskan, peraturan tersebut berdampak langsung, baik terhadap importir/konsumen di Mesir maupun terhadap eksportir Indonesia yang akan sudah atau akan melakukan ekspor ke Mesir.“Para eksportir diharapkan dapat mengambil langkah-langkah antisipatif, terutama terkait dengan harga sehingga dapat mempertahankan pangsa pasar yang sudah ada, mengingat selama ini neraca perdagangan Indonesia dengan Mesir masih menunjukkan nilai yang positif,” tuturnya.
Peraturan ini menaikkan tarif bea masuk impor dari semula 10-40 persen menjadi 20-60 persen atau naik 2-6 kali lipat dari tarif sebelumnya. Namun, penetapan bea masuk baru tersebut tidak berlaku bagi negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Mesir seperti Uni Eropa, negara-negara Arab, Turki, dan negara anggota The Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA).
Pemerintah Mesir beralasan bahwa kenaikan tarif bea masuk impor ini bertujuan mendorong industri dalam negeri, meningkatkan pendapatan negara, dan menekan angka impor sehingga dapat mengurangi defisit neraca perdagangan Mesir.
Walaupun masih terdapat pro dan kontra di dalam negeri, kata Dody, Pemerintah Mesir akan tetap menerapkan peraturan ini. Hal ini dilatarbelakangi pelemahan mata uang Mesir terhadap Dolar Amerika Serikat, penurunan pendapatan di sektor wisata, penurunan minat investasi asing, dan penurunan pendapatan Terusan Suez.
Dody menegaskan Pemerintah Indonesia akan lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan terkait ekspor-impor yang dikeluarkan Mesir, terutama karena pada 2016 Pemerintah Mesir cukup banyak mengeluarkan kebijakan pengetatan impor.“Sebelumnya Mesir menetapkan kewajiban pendaftaran eksportir tujuan Mesir ke General Organization for Export and Impor Control (GOEIC) dan penerapan kebijakan value added tax (VAT) sebesar 13 persen yang akan naik menjadi 14 persen pada Juli 2017,” ujarnya.
Selama lima tahun terakhir (2011-2015), tren ekspor nonmigas Indonesia ke Mesir menurun sebesar 0,72 persen. Sedangkan pada 2016 (Januari-Oktober), ekspor nonmigas tercatat US$ 895,4 ribu atau menurun 8,54 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 978,9 ribu.
Kinerja Ekpsor Turun
Secara umum, kinerja ekspor-impor 2016 kurang menggembirakan. Ini terlihat dari kspor Indonesia Turun Jadi US$144,43 Miliar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka ekspor 2016 turun 3,94 persen dibandingkan tahun 2015 sebesar US$150,36 miliar.
BPS menyebut, eskpor Indonesia sepanjang Desember 2016 mencapai US$13,77 miliar, meningkat 2 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$$13,5 miliar. Kendati demikian, secara total tahunan ekspor melemah.
Secara lebih rinci, angka tersebut terdiri dari ekspor minyak dan gas bumi (migas) sebesar US$1,23 miliar dan ekspor non-migas sebesar US$12,54 miliar. Total ekspor bulan Desember ini tercatat sebagai angka tertinggi sejak Januari 2015 silam.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Yang pertama, kenaikan ekspor migas dari US$1,1 miliar ke angka US$1,23 miliar disebabkan oleh kenaikan volume 9,75 persen dan juga membaiknya harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP). Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), angka ICP bulan Desember mencapai US$51,09 per barel, atau meningkat US$7,83 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$43,25 per barel.
Sementara untuk ekspor non-migas, Suhariyanto menjelaskan jika harganya membaik meski terjadi penurunan volume sebesar 4,5 persen. Perbaikan harga terjadi pada beberapa komoditas seperti kopra, palm kernel, hingga minyak kelapa sawit.”Akibat kenaikan harga beberapa komoditas, maka nilai ekspor non-migas di pasar internasional juga membaik. Nilai eskpor Indonesia naik 1,13 persen,” ujar Suhariyanto.
Kontribusi ekspor Desember tersebut membuat nilai ekspor Indonesia sepanjang tahun 2016 mencapai US$144,43 miliar. Kendati demikian, angka ekspor tahun 2016 ternyata masih lebih kecil 3,94 persen dibanding tahun 2015 sebesar US$150,36 miliar.
Suhariyanto mengatakan, masih lemahnya ekspor Indonesia di tahun ini dikarenakan oleh melemahnya beberapa harga komoditas, seperti kopi, lada hitam, putih, kakao, rumput laut, dan tanaman obat.Kondisi itu diperparah dengan permintaan global yang tak kunjung membaik, sehingga volume ekspor Indonesia masih belum bisa bangkit.”Pelemahan ekonomi secara internasional itu tentu berdampak sekali ke permintaan barang-barang dari Indonesia.Melihat kondisi seperti ini, kami rasa perekonomian dunia tahun 2016 belum pulih sepenuhnya,” jelas Suhariyanto.
Lebih lanjut, ia merinci beberapa sektor yang diharapkan bisa berkontribusi lebih baik kepada ekspor di tahun 2017. Sektor-sektor tersebut antara lain terdiri dari migas, pertanian, dan pertambangan. Suhariyanto beralasan, ketiga sektor tersebut memiliki nilai negatif sepanjang tahun 2016, di mana ekspor sektor migas mengalami penurunan terparah sebesar 29.54 persen. Namu di sisi lain, ekspor manufaktur justru mengalami peningkatan 1,07 persen.
Melihat hal ini, ia berpendapat bahwa pemerintah seharusnya meningkatkan produksi bahan pertanian dan menyalurkannya untuk bahan baku industri pengolahan makanan. “Pertanian bisa produksi lebih tinggi, dan bisa mendapatkan nilai tambah jika itu disalurkan ke industri pengolahan,” jelasnya.
Sebagai informasi, impor sepanjang tahun 2016 tercatat sebesar US$116,92 miliar. Dengan demikian, surplus perdagangan pada tahun 2016 tercatat sebesar US$8,78 miliar. Surplus ini terbilang lebih tinggi 14,47 persen dibanding tahun 2015 sebesar US$7,67 miliar.
Sikap Pengusaha
Pengusaha mengancam akan memboikot produk-produk dari Eropa di dalam negeri. Langkah ini untuk mengantisipasi jika Eropa mengadang produk-produk asal Indonesia terkait dengan kebijakannya modernisasi trade remedy.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, Indonesia tidak boleh lemah menghadapi Eropa. Apalagi, menurutnya, Eropa tidak punya alasan kuat untuk menghadang produk-produk asal Indonesia.“Kalau mereka tutup impor, kita bisa larang produk mereka masuk Indonesia. Pakaian, mobil Eropa kita larang saja masuk Indonesia,” cetusnya kepada Bisnis Syariah, kemarin.
Ade mengatakan, produk Indonesia yang masuk ke pasar Uni Eropa tidak ada yang bermasalah baik dari regulasi maupun kualitas. “Kalau alasannya mereka takut kalah bersaing saya rasa tidak mungkin ya,” katanya.
Dia menegaskan, dampak yang dirasakan industri dalam negeri, khususnya tekstil tidak akan besar jika Eropa menutup pasar impornya. Namun ketegasan, tetap perlu dilakukan agar produk asal Indonesia bisa tetap percaya oleh dunia.“Kalau dampak tidak besar karena ekspor kita masih lesu ke Eropa. Kita juga masih bisa mencari pasar lain. Tapi kita harus tetap tegas menghadapi ini agar produk kita tidak dianggap jelek oleh negara lain,” tuturnya.
Ia meminta, pemerintah juga tegas menghadapi masalah ini. “Harus ada sikap aktif dari pemerintah. Saat ini kan baru parlemen Eropa yang bicara. Kalau sudah ada keputusan dari pemerintahnya, pemerintah kita juga harus cepat bergerak,” kata Ade. Ia menilai, momen ini juga bisa dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan pasar domestik semaksimal mungkin. Karena itu, dia meminta, ada perbaikan dalam kebijakan energi, yang membuat biaya produksi besar.
Ade menekankan, industri tekstil dan produk tekstil Indonesia jangan sampai disusul oleh negara ASEAN lain. Setelah disusul oleh Vietnam, Myanmar mulai berancang-ancang menyusul Indonesia. “Kita sudah ada dari hulu sampai hilir, tapi kain untuk garmen 100 persen kain impor. Ini karena bebas bea masuk, kalau pakai dari buatan dalam negeri harus bayar lebih mahal,” tukasnya.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah di dalam melakukan antisipasi tidak hanya fokus pada sektor ekspor, namun juga impor. Pemerintah, katanya, harus mengantisipasi kemungkinan Indonesia menjadi sasaran China.
“Bukan hanya ekspor kita yang terganggu. Kalau barang China ke Uni Eropa ditolak masuk, pasti mereka akan mencari emerging market atau pasar baru. Nah, kita itu akan jadi sasaran empuk bila tidak mengantisipasi secara serius. Barang China akan menyerbu pasar Indonesia,” kata Hariyadi .
Dia menuturkan, antisipasi yang harus dilakukan pemerintah ada dua. Pertama, menerapkan kebijakan serupa dengan apa yang dilakukan Uni Eropa. Kedua, mencari pasar baru untuk ekspor produk Indonesia.“Indonesia harus seimbang menerapkan kebijakan. Jangan kita membuka pintu negara dengan lebar. Sementara di sisi lain negara lain menerapkan sejumlah aturan dan mempersulit produk dari Indonesia untuk masuk ke pasar negara lain,” ingat Hariyadi. Ia menyebut, kawasan Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk digarap menjadi pasar produk-produk Indonesia yang saat ini belum digarap secara serius.
Suhariyanto menambahkan, tujuan utama ekspor non migas Indonesia, yakni pertama Amerika Serikat (AS) senilai US 15,68 miliar di Januari-Desember 2016 atau pangsa pasarnya 11,94 persen. Kedua, China dengan pangsa pasar 11,49 persen senilai US$ 15,10 miliar dan ketiga, Jepang senilai US$ 13,21 miliar dengan pangsa pasar 10,06 persen. “Sedangkan ke pasar ASEAN, ekspor Indonesia senilai US$ 28,74 miliar di 2016 atau 21,88 persen pangsa pasarnya, serta ke Uni Eropa 10,97 persen dengan nilai US$ 14,41 miliar,” jelas dia.
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, komoditas paling banyak diekspor Indonesia ke berbagai negara sepanjang tahun lalu adalah minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara.”Ekspor CPO pada tahun lalu sekitar US$ 21 miliar dan batu bara serta sejenisnya mencapai nilai ekspor US$ 15 miliar. Paling banyak di ekspor ke India, China walaupun volumenya turun. Juga dikirim ke berbagai negara Eropa,” dia menambahkan.
Sasmito menuturkan, volume maupun nilai ekspor Indonesia di 2016 merupakan titik terendah. Dia optimistis, titik ini akan berbalik arah di 2017 dan tahun-tahun mendatang.”Ada relaksasi kebijakan ekspor minerba juga berdampak ke kenaikan ekspor tembaga sehingga mampu mengurangi tekanan terhadap rendahnya ekspor kita selama ini. Dari US$ 13,77 miliar, lebih dari US$ 500 juta dari ekspor tembaga di Desember 2016,” jelasnya.
Indonesia dan Uni Eropa menjalankan perundingan putaran ke-2 Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dalam perundingan yang berlangsung pada pada 24-27 Januari 2017 di Denpasar ini, kedua pihak belum akan memasuki tahapan negosiasi.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menyatakan hasil perundingan ini akan menjadi penentu mekanisme perundingan selanjutnya.“Kesepakatan putaran ini akan berisi tindak lanjut modalitas, persamaan persepsi level ambisi perundingan, serta klarifikasi usulan masing-masing delegasi termasuk usulan teks draf. Baru pada putaran berikutnya kami melihat ada negosiasi komprehensif,” ujar Iman yang juga Ketua Perunding Indonesia dalam IEU-CEPA saat dihubungi, Selasa (28/1/2017)
Pertemuan putaran ke-2 ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan perundingan putaran pertama yang dilaksanakan pada 20-21 September 2016 lalu di Brussel, Belgia. Kali ini, kedua pihak akan membahas isu-isu seperti akses pasar perdagangan barang dan jasa, kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, regulasi teknis di bidang sanitari dan fitosanitasi (SPS), regulasi teknis di bidang hambatan teknis perdagangan (TBT), dan belanja pemerintah.
Selain itu, dibahas pula hak kekayaan intelektual, persaingan usaha, transparansi kebijakan, penyelesaian sengketa, serta perdagangan dan pembangunan yang berkelanjutan. Iman menuturkan hal-hal tersebut diyakini akan berdampak pada upaya peningkatan kerja sama perdagangan dan investasi kedua belah pihak.
Setelah pertemuan putaran ke-2 IEU-CEPA, akan diselenggarakan pula pertemuan Working Group on Trade and Investment (WGTI) pada 28 Januari 2017 mendatang. WGTI merupakan forum bilateral yang bertujuan membahas permasalahan terkait kelancaran arus perdagangan dan investasi kedua pihak melalui pertukaran informasi kebijakan dan peraturan yang saat ini berlaku.
Sebelumnya, kesepakatan untuk merundingkan CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa didasarkan pada hasil kajian bersama yang dilakukan pada 2010 dan disampaikan kepada kedua pemerintah pada 4 Mei 2011.
Kajian yang berjudul Invigorating the Indonesia-European Union Partnership Towards a Comprehensive Economic Partnership Agreement ini dilakukan sebuah tim yang melibatkan kalangan pemerintahan, akademisi, dan bisnis dari kedua pihak.
Pada 2012 kedua negara membahas scoping paper untuk menentukan cakupan dan kedalaman komitmen yang akan dirundingkan. Diselingi pergantian pemerintahan, baik di Indonesia maupun di Uni Eropa, pembahasan scoping paper sempat vakum hingga akhirnya dapat diselesaikan pada April 2016 saat Presiden RI Joko Widodo melakukan kunjungan ke Brussel, Belgia.
Perundingan IEU-CEPA secara resmi diluncurkan bersamaan pada 18 Juli 2016 di Jakarta dan Brussels. Putaran pertama atau kick-off meeting diselenggarakan pada 20-21 September 2016 di Brussel, Belgia. Targetnya, seluruh tahapan perundingan rampung dalam dua tahun.
Eropa merupakan mitra dagang terbesar ke-4 bagi Indonesia dengan produk ekspor utama antara lain mencakup produk-produk pertanian dan perikanan, furnitur, komponen mesin, tekstil, dan alas kaki, serta produk plastik dan karet. Sementara bagi Uni Eropa, Indonesia adalah mitra dagang dari Asia Tenggara terbesar ke-5 namun berada di peringkat ke-30 dalam urutan mitra dagang Uni Eropa secara global.
Ekspor utama Uni Eropa ke Indonesia antara lain terfokus pada mesin, peralatan transportasi, dan produk kimia selain jasa. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa (2016) mencapai US$ 14,41 miliar dan impor dari Uni Eropa US$ 10,65 miliar menjadikan Indonesia mendapat surplus sebesar US$ 3,76 milliar.jef, cnn, bbs