Global-News.co.id
Nasional

Perut Lapar Tak Kenal Reputasi

Jagad maya ramai. Keberingasan sebagian sopir taksi yang berunjuk rasa di Jakarta, Selasa (22/3/2016) langsung tersiar ke seluruh dunia. Komentar-komentar netizen pun meningkahi. Banyak sekali di antara komentar-komentar itu bernada sangat negatif, mulai dari menghujat keberingasan tersebut, melabeli para pengunjuk rasa sebagai orang yang tidak kreatif dan karenanya kalah bersaing, sebagian lagi

Achmad Supardi  Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, President University Cikarang, Bekasi
Achmad Supardi
Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, President University
Cikarang, Bekasi

langsung mengajak boikot perusahaan-perusahaan taksi tersebut.

Kekerasan, termasuk yang dilakukan sebagian sopir taksi tersebut tentu tidak bisa diterima. Namun sebaiknya kita tidak melupakan gambar besarnya. Konteksnya. Mengapa para pengemudi taksi berdemo?

Berdemo tidak pernah menjadi pilihan pertama. Ia adalah opsi terakhir, terutama bagi sebuah perusahaan jasa seperti sejumlah operator taksi yang cukup ketat menerapkan standar pelayanan dan sopir taksi yang dibiasakan dalam lingkungan seperti itu. Para operator taksi tersebut, sebagai sebuah perusahaan maupun para sopirnya, pasti memahami bahwa demo bukan tindakan populer dan sangat potensial memancing hujatan.

Aneka meme pun sudah menjadi viral di dunia maya. Ada meme yang menganalogikan salah satu perusahaan taksi sebagai angry bird” (burung yang marah). Meme lain menggambarkan sopir yang tetap bekerja di masa demo dan dikerubuti oleh para pendemo sebagai The Walking Dead. Para pendemo dianggap zombie yang siap mencabik-cabik manusia seperti dalam serial yang didistribusikan AMC dan Fox International Channels tersebut. Maka, pasti ada sesuatu yang lebih besar sehingga pilihan yang sangat berisiko ini mereka ambil. Hal yang lebih besar itu adalah: bertahan hidup.

Kehadiran perusahaan seperti Uber, Grabcar dan sejenisnya mengurangi dengan drastis pangsa pasar yang selama ini dilayani oleh perusahaan taksi. Tren peralihan konsumen ini dirasa sangat cepat dan belum akan berhenti, karena itu perusahaan taksi dan para sopir mereka merasa sangat terancam. Berhentinya kepulan asap dapur adalah ancaman sangat mengerikan, terutama bagi sopir taksi.

Merekalah kelompok paling rawan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam konflik ini. Mereka tidak memiliki mobil pribadi untuk dikerjasamakan dengan Uber, Grabcar, dan perusahaan sejenis. Menjadi sopir mungkin satu-satunya keterampilan yang mereka punya. Mereka pun menjadi pihak yang sangat terpojok. Menjadi sopir taksi yang –mungkin—merupakan pegangan terakhir untuk memastikan dapur tetap mengepul tentu takkan dilepaskan. Setelah mengajukan serangkaian tuntutan namun tak membuahkan hasil, demo pun menjadi pilihan terakhir.

Dalam konteks inilah kekerasan itu terjadi. Demo adalah sebuah alat penekan. Alat tawar. Keampuhannya sangat tergantung dari luasan dan intensitas demo. Demo adalah alat untuk menunjukkan bahwa ada sendi-sendi kehidupan yang berhenti –atau setidaknya terganggu—ketika demo dilakukan. Karena itu ketika masih ada sopir taksi lain yang tidak ikut berdemo, para sopir tersebut marah. Semakin banyak sopir taksi yang tetap beroperasi di masa demo membuat demo itu semakin kehilangan daya gedornya. Padahal, bila demo tersebut berhasil dan –misalnya—pemerintah membuat regulasi yang memberi angin segar bagi sopir taksi, mereka yang tidak ikut berdemo akan turut pula merasakan manfaatnya. Sopir taksi yang tetap bekerja di masa demo dianggap tidak solider dan ingin enak sendiri. Dalam konteks kerumunan, mereka pun dianggap lawan. Inilah alasan mengapa keberingasan itu terjadi.

Kondisi yang dihadapi para sopir taksi berbeda dibanding kondisi para “rekanan” (karena mereka bukan karyawan) Grabcar atau Uber. Banyak di antara para “rekanan” ini menjalankan fungsi sebagai sopir taksi bukan untuk bertahan hidup, namun “sekadar” untuk menambah uang saku atau menambah dana bagi peningkatan “kualitas hidup” mereka. Yang dilakukan para “rekanan” tentu tidak salah. Namun di sini kita bisa melihat ada sebagian orang yang “mencari uang tambahan”, ada sebagian orang lain yang mencari uang “untuk bertahan hidup”. Kita perlu adil dalam melihat kondisi ini.

Pemerintah harus lebih tegas. Perkembangan teknologi dan potensi ekonomi yang mengikutinya bukan untuk dibendung, namun justru harus dirangkul dan dipersubur. Di saat yang sama, keadilan, a fair playground harus disediakan bagi semua orang. Hukum harus dibuat jelas dan ditegakkan.

Operator taksi jelas merupakan perusahaan transportasi. Mereka memiliki armada dan sopir (berstatus karyawan bagi operator taksi tersebut). Bagaimana dengan Uber, Grabcar dan sejenisnya? Mereka perusahaan transportasi atau –sebagaimana klaim mereka—adalah perusahaan aplikasi? Apakah perusahaan aplikasi boleh menjalankan jasa transportasi? Ini mungkin pertanyaan basi, namun belum dijawab secara gamblang. Perasaan diperlakukan dengan tidak adil, sementara mereka harus bertahan hidup, adalah paduan dua hal yang memunculkan demo yang diwarnai keberingasan itu.

Tentu pemerintah bukan satu-satunya aktor yang harus bergerak. Perusahaan taksi pun mesti berbenah. Perbaiki aplikasi layanan on-line mereka. Buatlah agar kesenjangan “kenyamanan” dan “kemudahan” antara menggunakan taksi dan Grabcar, Uber atau sejenisnya menjadi minimal atau tak ada kesenjangan sama sekali. Bila ini terjadi, konsumen akan kembali. Konsumen adalah kelompok orang yang sangat oportunis. Ia akan datang kepada pelayanan yang terbaik, termudah, termurah. Dan bila kondisi membaik, jangan lupakan para sopir mereka. Jangan hanya bersatu ketika ada pesaing saja.

Pengusaha taksi bisa banting setir membuka usaha lain. Memilih menjadi perusahaan palikasi yang menjalankan bisnis transportasi pun mereka bisa. Namun sopir mereka tidak semudah itu pindah kerja.
Kita, para pengguna jasa transportasi, sudah semestinya ikut berperan. Sopir taksi menjadi bulan-bulanan karena komen kita di dunia maya. Mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama untuk memaksa pemerintah menyediakan aturan yang adil bagi semua pihak? (*)

baca juga :

Festival Panji Menjelajah Delapan Kota

gas

Gaji ke-13 dan Tunjangan Kinerja Dicairkan Mulai 1 Juli

Redaksi Global News

Saat Omicron Meningkat, Jubir Wapres Sebut Umrah Akan Dibatasi

Redaksi Global News