SURABAYA (global-news.co.id) – Radioterapi dikenal sebagai salah satu treatmen yang dilakukan untuk menangani kanker. Sayangnya hingga kini jumlah fisikawan medis klinis yang menjadi mitra dokter dalam melakukan treatmen kanker terbilang masih belum mencukupi.
Ketua DPP Aliansi Fisikawan Medik Indonesia (Afismi), Supriyanto Ardjo Pawiro PhD, menyebut, berdasarkan perhitungan kebutuhan fisikawan medis klinis saat ini sekitar 1.100 orang. “Kita sudah punya sekitar 500 orang, tapi yang ada di klinik baru sekitar 300-an. Berarti masih butuh 800 orang lagi,” ujarnya dalam simposium dan workshop Integrated Breast and Cervical Cancer Management, Sabtu (30/11/2019).
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, Afismi melakukan terobosandi 3 provinsi, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta mengingat sudah adanya pendidikan profesi di tiga tempat ini.”Nantinya juga akan dilakukan di Unhas (Universitas Hasanuddin,red) dan satu tempat lagi untuk wilayah timur dan juga di wilayah barat,”katanya dalam acara yang digagas dalam rangka 2 tahun Adi Husada Cancer Center (AHCC).
Lebih lanjut Supri mengatakan, pendidikan profesi ini menjadi sangat penting. “Butuh dukungan banyak pihak, tidak hanya dari universitas, tapi juga rumah sakit di sekitarnya,” tandasnya.
Bagaimana peran fisikawan medik dalam radioterapi? Supri menjelaskan, peran fisikawan medis dalam radioterapi sangat membantu, karena dalam manajemen kanker ada perhitungan dosis sehingga pemberian dosis radiasi pada pasien presisi dan akurat. Misalnya dokter menginginkan dosis 200 gray, kalau terjadi kesalahan penghitungan, yang ditreatmen bukan kankernya tapi justru jaringan normal di sekitarnya.
Keberadaan fisikawan medis ini juga penting untuk manajemen kalkulasi dan kalibrasi alat sehingga terjamin akurat dan presisi.
Data global menyebutkan setiap tahun terdapat 18,1 juta kasus baru kanker dan pada 2018 sebanyak 9,6 juta meninggal karena kanker. Selain itu 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan mengalami kanker. Data itu juga menyebut , 1 dari 8 pria dan 1 dari 11 perempuan meninggal karenanya.
Sementara prevalensi kanker di Indonesia berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesda) 2018, sebesar 1,79 per 1.000 penduduk meningkat dibanding hasil Riskesda 2013 yang 1,4 per 1.000 penduduk. Sementara angka kejadian kanker 136,6 per 100.000 penduduk yang menempatkan Indonesia di urutan 8 di Asia Tenggara dan urutan 5 di tingkat Asia.
Direktur RS Adi Husada Undaan, dr Irawati Marga MARS mengatakan, sebagai layanan terintegrasi swasta pertama di Indonesia timur, AHCC dilengkapi dengan layanan skrining, diagnostik, radioterapi, kemoterapi, pembedahan dan post care dalam 1 lokasi. “Konsep tersebut memberikan kecepatan dan ketepatan penanganan kanker yang memang sangat dibutuhkan oleh pasien kanker,” ujarnya.ret