Global-News.co.id
Kesehatan Utama

Cegah Kecacatan, Dampingi Anak Menggosok Gigi hingga Usia 15 Tahun

Banyak orangtua yang masih mengabaikan pentingnya gosok gigi pada buah hatinya dengan alasan nanti toh gigi susunya akan tanggal. Padahal perkembangan gigi susu akan ikut memengaruhi bahkan menentukan pertumbuhan gigi permanen anak. Kesalahan penanganan gigi sejak awal berpotensi mengakibatkan cacat (baca: maloklusi gigi) seumur hidup, mengingat proses pembentukan gigi tidak akan terulang lagi.

Setiap anak yang baru dilahirkan, rongga mulutnya bersih dari bakteri yang menyebabkan gigi berlubang. “Bakteri itu ada juga karena dari kita,” kata drg Evy A. Syagran, MM, SpKGA, spesialis kedokteran gigi anak Rumah Sakit Islam A.Yani.

Jadi salah kalau orang beranggapan gigi anaknya rusak karena bawaan lahirnya.  Evy menjelaskan, ada 3 aspek yang menyebabkan gigi  berlubang, yaitu pola makan, kebersihan, dan perilaku.

Terkait kebersihan, dalam Islam ada hadist yang menyebutkan Rasulullah sangat tidak menganjurkan untuk meniup makanan. Sesuai tahapannya, bayi yang berusia 6 bulan sudah mulai diberi makanan pendamping ASI. “Sebelum menyuapkan, biasanya ibu (yang menyuapi) meniup atau mencicipi makanan itu dengan alat makan yang sama untuk mengetahui apakah masih panas atau tidak & juga untuk memastikan rasa. Dari situlah bakteri-bakteri penyebab karies atau gigi berlubang bisa bertukar pada anak, meski tidak seperti flu, yang besok langsung sakit.

Selain itu, mencium anak juga dapat memicu hal yang sama. Perpindahan saliva (air liur) yang mengandung bakteri streptococcus mutan terjadi saat mencium anak atau saat menggunakan alat makan yang sama. Kalau jumlah bakteri yang ditularkan tinggi, maka risiko terjadinya karies atau gigi berlubang pada anak juga tinggi

Sebagai pencegahan, Evy menganjurkan agar tidak berbagi alat makan, atau mewaspadai risiko penularan bakteri melalui ciuman.

Saat usia 6 bulan ke atas, gigi bayi sudah mulai tumbuh. “Nah, pada saat gigi tersebut tumbuh, bakteri sudah ada di situ. Bakteri inilah yang nantinya juga akan merusak gigi anak,” urai spesialis gigi anak ini.

Sedang terkait pola makan, tidak sedikit orangtua yang mengabaikan pola makan buah hatinya. Anak yang ngemil, lanjut Evy,  giginya lebih berisiko mengalami karies ketimbang anak yang tidak ngemil. Hal ini berhubungan dengan oral clearance time, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh seseorang untuk mengeliminasi makanan dari mulut, dan mengurangi konsentrasi karbohidrat sampai pada titik terang.

Evy menyebutkan, dari pengalaman praktiknya, dia menemukan ada 2 tipe orangtua yang membuatnya sampai patah hati.  Yang pertama  orangtua yang permisif, membiarkan anaknya tidak sikat gigi dengan alasan kalau gosok gigi anaknya nangis.  Menghadapi yang begini, biasanya orangtua diberi alternatif pilihan, anaknya menangis karena sikat gigi atau menangis karena giginya sakit. “Karena sekali kita menyikat gigi lalu anak itu menangis dengan alasan sakit dan kita berhenti, ini akan menjadi alat bagi anak untuk tidak sikat gigi,” terangnya.

Anak harus dipaksa untuk gosok gigi. “Kalau perlu dipiting, ini untuk tujuan memaksa agar si anak tahu bahwa sikat gigi itu tidak menyakiti atau membahayakan dirinya,” tambahnya.

Tipe lainnya adalah orangtua yang dengan bangga mengatakan, “Aduh dokter anakku sudah bisa gosok gigi sendiri, nggak perlu disuruh.”  Dijelaskan, pada anak usia 0-15 tahun, motorik halusnya mungkin sudah bagus (antara 9-15 tahun), tapi koordinasi antara  mata, rasa/sense dan alat gerak masih sangat erat hubungannya. Ini yang menyebabkan anak cenderung akan menghindari kalau dia merasa tidak nyaman.

Saat sikat gigi, otomatis gusi akan terkena dan membuat tidak nyaman. “Kalau anak-anak sikat gigi sendiri, lalu merasa ada yang tidak nyaman, dia akan berhenti atau menghindari. Karena itu saya selalu menganjurkan orangtua untuk terlibat dalam sikat gigi anak. Bukannya tidak percaya pada anak, dengan menyikat gigi bersama-sama bisa sekaligus memantaunya,” terang Evy.

Ditambahkan, dalam menggosok gigi, yang disikat bukan hanya gigi dan gusi, tapi juga lidah, langit-langit dan mukosa pipi. Pembersihan rongga mulut ini juga berlaku pada bayi, meskipun dia belum memiliki gigi.  Pada bayi pembersihan bisa dilakukan dengan bantuan kain kasa.

Diingatkan oleh alumnus FKG Unair ini, kalau gigi anak berlubang (mengalami karies gigi), dampaknya bukan hanya saat ini, tapi juga ke depannya. “Dan bisa menimbulkan luka batin,” tandasnya.

Dicontohkan, akibat karies gigi pada gigi depan menyebabkan ompong hingga memunculkan panggilan si Polan ompong. Atau prestasi akademis anak akan terganggu gara-gara sering tidak masuk sekolah karena giginya sakit sehingga tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Lebih lanjut kalau gigi yang lubang tadi kian parah bisa menyebabkan abses kista hingga terjadi infeksi odontogenik. Bakteri ini bisa juga masuk pembuluh darah dan menyerang jantung atau ginjal.

Jadi perawatan gigi pada anak tak bisa disepelekan, karena sakitnya bisa ke mana-mana bahkan juga sampai ke otak. Evy mencontohkan pasien yang baru ditanganinya. Sudah dua tahun pasiennya yang berusia 9 tahun itu  memiliki keluhan mengalami sakit kepala yang hebat (cephalgia) dan nyeri telinga yang luar biasa (otalgia). Dia sudah menjalani CT Scan sebanyak 2x dan tidak ditemukan penyebab yang signifikan.  Ternyata sakit itu berasal dari giginya. “Pagi tadi saya operasi giginya, sekarang dia sudah bisa makan. Sebelumnya, karena nyeri dia malas makan hingga mengalami gizi buruk, nilai akademisnya terganggu sehingga orang tuanya memutuskan untuk Home Schooling. Dan bahkan di usianya yang sudah 9 tahun tapi berat badannya hanya 18 kg,” urainya.

Setiap individu akan mengalami dua kali pertumbuhan gigi, yaitu gigi susu dan gigi permanen.  Meski gigi susu sifatnya hanya sementara, karena akan  tanggal dan digantikan gigi permanen, bukan berarti gigi susu tidak harus dijaga kesehatannya. Keberadaan gigi susu ini dapat memengaruhi pertumbuhan gigi permanen anak.

Gigi susu yang tidak dirawat dapat membuat gigi permanen sulit untuk tumbuh dan bisa berantakan. Gigi susu yang tanggal lebih awal dapat membuat gigi permanen lebih bebas untuk tumbuh, sehingga dapat mengambil ruang gigi lain untuk tumbuh. Hal ini membuat gigi yang lainnya akan lebih sulit untuk menemukan ruang untuk tumbuh. Alhasil, gigi anak akan berantakan dan tumbuh tumpang tindih.ret

baca juga :

Jelang Libur Akhir Tahun, DPKP Surabaya Terbitkan Tata Cara Cegah Kebakaran

Redaksi Global News

Perusahaan Anak BNI Tumbuh Positif Seiring dengan Program Transformasi

Redaksi Global News

Hasil Monitoring dan Evaluasi KPK, Pamekasan Bersih dari Korupsi

gas