Global-News.co.id
Ekonomi Bisnis Indeks Utama

Wawancara Sampe L. Purba: Jangan Terlena LPG, Perlu Diversifikasi Gas Sumber

Pemerintah semakin gencar memasyarakatkan penggunaan bahan bakar gas (BBG). Sejumlah kendala satu per satu diurai. Pipa-pipa gas dibangun. Sejumlah regulasi diterbitkan sebagai solusi. Berikut wawancara Wartawan Global Energi dengan Sampe L. Purba, praktisi energi global yang sekarang bekerja sebagai Tenaga Ahli Lingkungan Kepala SKK MIGAS.

PGN sudah gencar membangun pipa agar gas bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk masyarakat dan tidak hanya diekspor. Namun PGN tak bisa sendiri, harus melibatkan pihak swasta lain. Menurut Bapak, apa yang harus dilakukan agar swasta bisa gencar masuk bisnis gas? Sebelumnya swasta termasuk PGN bicara soal harga gas yang dinilai murah.

Berbicara mengenai PGN , secara inheren itu juga sudah menyangkut swasta. PT PGN Persero Tbk itu adalah Perusahaan ( Persero) Terbuka yang sebagian sahamnya diperdagangkan di bursa. Dapat dimiliki oleh privat, korporasi, nasional ataupun asing. Memang mayoritas saham pengendali saat ini ada pada Pemerintah termasuk penempatan beberapa posisi kunci di level pimpinan. Dalam konteks ini, maka PGN diposisikan sebagai BUMN, karena memang juga merupakan Badan Usaha untuk mengimplementasikan kebijakan Pemerintah, termasuk dengan penugasan-penugasan tertentu.

PT PGN juga memiliki aktivitas bisnis baik secara langsung, atau melalui pengendalian mayoritas dan strategis pada anak-anak perusahaannya, pada segmen jalur pipa transmisi, transportasi, niaga dan distribusi. Juga termasuk di kegiatan hulu, konstruksi, telekomunikasi dan lain-lain.

Kalau yang dimaksudkan adalah bisnis swasta murni yang tidak terafiliasi dengan PGN, pertanyaannya di segmen mana mereka mau masuk. Poin yang ingin saya katakan adalah, kalau mau masuk di segmen tertentu, jadilah untuk memperluas pasar, seperti menambah jaringan dan sebagainya. Esensi dari mahalnya harga gas yang sekarang adalah karena itu. Tidak tersedia akses kapasitas dan kesempatan yang sama untuk menggunakan jaringan yang ada, sementara untuk menambah jaringan baru, tidak ada jaminan tersedianya pasokan atau terproteksinya pasar. Kalau mau short cut untuk berbisnis di jalur niaga, itu – at the end of a day – hanya akan menggeser tambahan rente beban ekonomi ke pengguna akhir ( end-user).

Soal infrastruktur gas sekarang semakin gencar dibangun. Apa tantangan PGN selanjutnya?

Saya kira satu tantangan terbesar di sisi infrastruktur adalah untuk meyakinkan Pemerintah dan para pemegang saham, bahwa penugasan ke Badan Usaha adalah bersifat strategis dan jangka panjang. Dengan demikian ukuran kinerja Direksi seyogianya tidak semata-mata berdasarkan catatan laba pada pemegang saham, Price Earning Ratio atau kontribusi PGN grup ke Negara melalui Pajak.

Saat ini pasar infrastruktur gas kita masih jauh dari memadai. Beberapa jalur strategis di Sumatera (seperti Duri – Dumai – Batam) belum tersambung, demikian juga jalur Semarang – Gresik, belum seperti jalur Pantura. Pertumbuhan infrastruktur transmisi kita sangat lambat. Pemainnya tidak banyak. Hanya PGN group dan Pertamina Group (melalui PT Pertagas). Pernah terdengar sayup sayup PT Kalija yang mau menyambung jalur Kalimantan ke Jawa, tetapi itu pun belum terealisir. Tantangan terbesar di bidang infrastruktur secara umum adalah:

a. Meyakinkan pemegang saham, bahwa pembangunan infrastruktur adalah investasi jangka panjang dan merupakan perwujudan dari tanggung jawab sebagai pengemban posisi dominan pasar di infrastruktur.

b. Memastikan bahwa jalur infrastruktur tersebut secara hitung-hitungan keekonomian akan financially bankable, dengan pasar yang bertumbuh dan sumber pasokan yang terjamin.

Sekarang industri dan rumah tangga sudah banyak pakai gas. Bagaimana dengan sektor transportasi?

Sebetulnya selain menggembirakan, ada kekhawatiran saya hal penggunaan gas ini oleh rumah tangga. Campaign konversi minyak tanah (kerosin) ke LPG sepuluh tahunan yang lalu, memang mencatatkan success story yang signifikan. Hanya kita mungkin kurang mempertimbangkan, bahwa tidak banyak yang secara komersial ekonomis gas dari Indonesia yang mengandung C3 – C4 sebagai komponen utama untuk LPG.

Kebutuhan LPG Indonesia meningkat tajam rata-rata 10% per tahun. Tahun 2011 mayoritas masih dapat disupply dari domestik, saat ini sekitar 70% ketergantungan Indonesia kepada impor LPG. Setiap hari rumah tangga bertambah (ada yang kawin dan membentuk rumah tangga baru), artinya permintaan LPG akan terus meningkat. Kelangkaan apalagi ketiadaan LPG akan dapat memicu kegelisahan sosial secara nasional (social unrest), jauh lebih besar magnitudenya dibandingkan kelangkaan BBM atau Listrik yang byar pet misalnya.

Lalu apa yang dapat dan harus dilakukan oleh Pemerintah?

Terus terang, kita tidak mungkin lagi kembali ke zaman minyak tanah/ kerosin.
Yang dapat dilakukan Pemerintah adalah :

a. Mendiversifikasi gas sumber. Kita tidak boleh terlena hanya mengandalkan LPG. Kita memiliki gas alam yang melimpah dalam bentuk LNG, dan sebagian belum ada pasarnya. Depot-depot tangki LNG dapat disebar di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk menjadi energi primer kelistrikan untuk kota-kota mandiri dan kawasan ekonomi khusus. Teknologi telah memungkinkan tabung-tabung LNG berskala kecil. Volume LNG yang dimampatkan sampai 600 kali merupakan keuntungan tersendiri. Memang ada tantangannya dari aspek teknologi pendinginan dan tangki khusus kriogenik/ kedap panas.

Gas Pipa memang adalah satu alternatif lain. Tetapi tantangannya masih banyak. Jaringan gas kota kita belum berkembang, dan terinterkoneksi dengan jaringan transmisi Utama. Bahkan jaringan transmisi hanya ada di Sumatera dan Pulau Jawa. Tingkat penyerapan gas per rumah tangga itu sangat kecil, beberapa digit di belakang koma saja dalam satuan BTU. Secara economic scale, hanya di negara yang memiliki empat musim, gas kota menjadi ekonomis.

Permintaan akan tinggi pada saat musim dingin maupun musim panas. Sedangkan kalau CNG, persoalannya akan sama, kita tidak punya banyak C4 dalam skala masif. Sehingga maksimal dikembangkan di sekitar wilayah tambang saja.

Mengenai transportasi, itu sebuah peluang besar. Di beberapa Negara sudah berkembang pasar LNG for Vechicle. Indonesia memiliki pasar yang besar untuk itu. Tidak usah muluk-muluk. Kalau sepanjang jalur kereta api Pantura ada depo LNG, pasarnya sudah terbentuk. LNG untuk Kereta Api, Kapal Penyeberangan, maupun Kapal pengangkutan. Itu untuk yang besar-besar. Transportasi massal. Sedangkan untuk transportasi kecil, tentu tidak mudah. Kendaraan umum tidak didesain untuk menggunakan bahan bakar gas. Tetapi kalau mau, terpulang kepada kebijakan.

Indonesia adalah pasar yang bertumbuh untuk kendaraan umum baik roda dua maupun roda empat. Negara Produsen dan/atau pemegang lisensi sangat sedikit. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan misalkan mewajibkan negara pemasok mesin kendaraan umum untuk juga mengekspor mesin berbahan bakar gas, dan investasi di sisi downstream di seluruh Indonesia. Pasar harus di-create. Harus diciptakan dan dikembangkan. Itu kuncinya.

Menurut Bapak, apa kemandirian energi dimulai dengan semakin banyaknya pengguna gas?. Bagaimana mencapainya dan apa tolok ukurnya?

Kemandirian energi diartikan terjaminnya ketersediaan energi dengan bertumpu kepada potensi dari sumber daya manusia, teknologi, rancang bangun, pendanaan, dan sumber energi nasional dan lokal. Artinya ada semacam energy sufficiency. Kemampuan potensi nasional untuk mem-back up kebutuhan nasional. Saya rasa, dalam alam perdagangan bebas yang sekarang kemandirian energi itu tidak perlu ditonjolkan. Lebih penting ketahanan energi dan kedaulatan energi dibanding kemandirian energi. Dengan ketahanan energi, kita berbicara mengenai ketersediaan baik yang bersifat cadangan strategis, penyangga dan taktis, akses merata, daya beli memungkinkan serta sustainabel. Sementara dengan kedaulatan energi, kita memiliki independensi untuk memetakan, mengatur dan mengukir jalan energi yang kita mau tempuh.

Bagaimana dengan produksi di sektor hulu gas sendiri. Apa nanti tidak terjadi kelangkaan gas ketika semakin banyak yang memakai gas? Bagaimana solusinya?

Memang, kalau kita lihat Neraca Gas Indonesia seperti grafik di atas, terkesan bahwa awal tahun depan kita sudah harus impor. Tetapi patut dicermati, bahwa projected demand (rencana keperluan) itu sifatnya belum fix. Banyak tergantung kepada asumsi dan proyeksi seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat kemajuan proyek 35.000 MW kelistrikan dan lain-lain.

Faktanya sekarang ini, masih banyak LNG kita (baik dari Tangguh maupun Kalimantan Timur) yang belum memiliki komitmen pembelian jangka panjang untuk pembeli akhir. Sebagian LNG yang telah terikat kontrak baik ekspor maupun domestik, bukan kepada pembeli akhir (end user), tetapi adalah ke pembeli portofolio, seperti case-nya gas dari Lapangan ENI Jangkrik, maupun dari Tangguh. Selain itu, dalam sisi supply, data tersebut belum memasukkan potensi tambahan gas dari blok Mahakam misalnya. Demikian juga dari penemuan-penemuan gas yang belum termonetisasi lainnya.

Lagi pula, trend ke depan, konstelasi perdagangan gas akan berubah meniru minyak mentah. Bersifat jangka pendek, dijual ke pemain portofolio, jumlah partai kecil, harga fleksibel. Yang penting dan esensial adalah Indonesia harus menyiapkan terminal-terminal dan fasilitas penampungan, serta jaringan distribusi. So… no worries. (Gatot Susanto)

baca juga :

PCR Rp 300 Ribu

gas

Pemprov Jatim Terapkan Istilah Baru Kemenkes bagi ODP, PDP dan OTG

Andik Fajar Cahyono Pj Sekdakab Pamekasan

gas